Kamis, 08 Januari 2009

Partai Politik: Nafsu Besar Tenaga Kurang


Todung Mulya Lubis

  • Ketua Dewan Pendiri Perhimpunan Pendidikan Demokrasi

    TAK lama lagi kita akan melaksanakan pemilu legislatif dan pemilihan presiden/wakil presiden, yang merupakan ritual konstitusional lima tahunan. Pemilu legislatif dan pemilihan presiden/wakil presiden itu adalah perhelatan akbar yang akan menentukan perjalanan bangsa ini lima tahun mendatang dan, karena itu, amat penting bagi kita semua.

    Lebih dari itu, negara-negara tetangga dan dunia akan memperhatikan jalannya pemilu legislatif dan pemilihan presiden/wakil presiden di negeri ini karena pengaruhnya yang signifikan setidaknya bagi ASEAN untuk tidak mengatakan Asia. Kekacauan atau gagalnya demokrasi di negeri ini akan mengancam stabilitas kawasan, yang pada gilirannya akan mempengaruhi juga stabilitas internasional.

    Selain itu, sebagai negara muslim terbesar, Indonesia punya arti khusus karena kalau demokrasi berhasil, kita bisa mengatakan Islam dan demokrasi itu kompatibel. Kesimpulan bahwa di negara yang penduduknya mayoritas muslim tak mungkin ada demokrasi adalah keliru.

    Pengalaman pemilu 1999 dan 2004 menunjukkan Indonesia bisa berdemokrasi meski jumlah partai politik peserta pemilunya terbilang sangat banyak. Pemilu telah berjalan relatif bebas, tertib, dan tanpa intimidasi. Saya bangga bahwa rakyat Indonesia sangat antusias dan bertanggung jawab dalam menjalankan hak pilih mereka sehingga sedikit sekali laporan tentang kecurangan dan pelanggaran pemilu.

    Bagi bangsa yang selama 32 tahun diperintah secara otoriter, bisa berdemokrasi dengan bebas, tertib, dan lancar adalah suatu prestasi yang luar biasa. Tak aneh jika serta-merta Indonesia dinobatkan sebagai negara demokrasi terbesar bersama Amerika dan India.

    Terus terang saya bangga melihat barisan rakyat yang berbondong datang ke tempat pemungutan suara. Akar demokrasi di negeri ini ternyata cukup kuat walau akar antidemokrasi juga tak kalah kuatnya. Keberadaan kerajaan-kerajaan dan pemerintah kolonial yang berabad jelas meninggalkan budaya antidemokrasi yang kuat di mana hak rakyat sama sekali tak memiliki tempat walau rakyat terus-menerus diatasnamakan.

    Feodalisme politik sampai sekarang masih terasa walau secara berkesinambungan tergerus oleh perubahan politik yang, menurut saya, terjadi sebagian karena keterbukaan informasi yang hebat dan tak terbendung oleh negara dan elite politik yang berkuasa. Semua negara di dunia merasakan imbasnya dan, walau belum semuanya berdemokrasi, angin perubahan ini memaksa semua pemerintah otoriter mulai membuka ruang bagi suara rakyat.

    Hanya, belum waktunya kita berpuas diri karena demokrasi kita masih muda dan penuh tantangan. Dengan pendapatan per kapita yang masih di bawah US$ 6.000, demokrasi di Indonesia masih dianggap belum aman. Menurut Adam Przeworski dalam tulisannya Why Do Political Parties Obey Results of Elections (2003), untuk negara yang pendapatan per kapitanya di atas US$ 6.000: democracy lasts forever. Berbagai contoh kegagalan demokrasi di negara yang pendapatan per kapitanya di bawah US$ 6.000 dikemukakan, dan sejujurnya saya merasa agak cemas juga melihat Indonesia, apalagi dengan kondisi ekonomi yang masih sarat dengan kemiskinan yang menggurita.

    Sebagaimana kita ketahui, pemerintahan yang kuat akan sulit terbentuk di negara yang banyak partainya, dan pengalaman kita sejak 1999 menunjukkan kekuasaan pemerintah terus-menerus tergerus. Pemerintah dipaksa melakukan kompromi yang akhirnya membuat banyak program tak berjalan, dan inilah yang juga bakal kita alami pasca-Pemilu 2009 nanti. Bagaimana mungkin ada partai yang bisa memperoleh suara mayoritas di pemilu yang diikuti 44 partai politik? Akhirnya, tak bisa dihindarkan, yang bakal terjadi adalah koalisi antarpartai, yang berarti menguatnya transaksi politik antarpartai. Yang saya takutkan, pengalaman demokrasi yang tak melahirkan pemerintahan yang kuat dan tak efektif ini akan membuat rasa tidak puas mendorong kembali negara ini ke masa lalu yang otoriter tapi diperintah oleh pemerintah yang relatif kuat. Kerinduan akan masa lalu yang stabil dan ”agak makmur” secara ekonomi memang sudah sering kita dengar, dan kita tak boleh menganggap remeh kerinduan ini.

    Euforia demokrasi kita seharusnya sudah harus menemukan format yang bisa melahirkan suatu pemerintahan yang kuat dan efektif, tapi sayangnya kekuatan-kekuatan partai di Dewan Perwakilan Rakyat tak pernah berhenti melakukan dagang sapi sehingga ketentuan threshold tak pernah bisa dijalankan.

    Akibatnya, semua partai yang seyogianya tak boleh lagi ikut pemilu kemudian bisa ikut pemilu dengan mengganti nama. Jumlah partai ini bertambah seiring dengan munculnya partai politik baru yang berasal dari partai yang pecah, partai yang benar-benar baru dan lolos verifikasi, serta sejumlah partai lokal dari Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Alhasil, panggung pemilu kita akan disesaki oleh pertarungan di antara 44 partai politik yang sudah disahkan oleh Komisi Pemilihan Umum sebagai peserta pemilu.

    Sayangnya, pertarungan itu tak akan pernah terjadi karena cukup banyak partai yang tak siap. Ketika saya membaca Daftar Calon Tetap Anggota Dewan Perwakilan Rakyat RI Pemilu 2009 yang diterbitkan oleh Komisi Pemilihan Umum, saya cukup terperanjat melihat banyaknya partai yang tak memiliki calon di banyak daerah pemilihan atau hanya punya satu calon.

    Selain itu, mayoritas calon dari semua partai datang dari Jakarta, Bogor, Depok, Bekasi, dan Tangerang. Banyak sekali calon anggota Dewan di daerah pemilihan yang tak berasal dari daerah pemilihan itu, atau mungkin belum pernah datang ke daerah pemilihan tersebut kecuali numpang lewat atau berkunjung sebagai wisatawan. Ini gejala apa?

    Hak untuk mendirikan partai politik adalah hak warga negara yang dijamin oleh Undang-Undang Dasar 1945 dan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik. Sejauh semua persyaratan pendirian partai politik itu dipenuhi, negara tak boleh melarang warganya mendirikan partai politik.

    Tapi, berkaca pada Daftar Calon Tetap Anggota Dewan Perwakilan Rakyat RI Pemilu 2009 ini, tak salah kalau disimpulkan bahwa sesungguhnya yang mau mendirikan partai politik itu hanyalah segelintir elite di Jakarta. Mereka tak berakar di daerah, tak mempunyai jaringan, dan, karena itu, kesulitan menempatkan calon anggota Dewan dari daerah.

    Tak sulit untuk menyimpulkan bahwa partai-partai ini akan rontok di jalan karena basis dukungannya memang lemah. Akibatnya, akan banyak partai yang menjadi partai yang dulu disebut sebagai ”partai nol koma” alias partai yang tak mampu meraih suara satu persen pun. Inilah partai-partai yang ”nafsu besar tenaga kurang”.

    Dalam konteks Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilu, partai politik yang tak mampu memenuhi ambang batas perolehan suara sekurang-kurangnya 2,5 persen dari jumlah suara sah secara nasional tidak akan disertakan pada penghitungan perolehan kursi Dewan Perwakilan Rakyat. Jadi partai-partai ini seharusnya gulung tikar alias bubar. Hanya, partai-partai ini enggan bubar dan lebih memilih mengganti nama walau namanya tak jauh berbeda.

    Mendirikan partai politik itu memang tak terlalu sulit, tapi bukan berarti partai yang didirikan itu otomatis menjadi partai yang kuat berakar. Dibutuhkan waktu yang lama untuk mempunyai basis dukungan rakyat. Partai yang sudah lama berdiri, seperti Partai Golkar dan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, juga masih menemukan kesulitan karena karakter sentralistik partai yang kuat. Calon anggota Dewan dari Partai Golkar dan PDI Perjuangan juga banyak yang datang dari Jakarta, Depok, Bekasi, Bogor, dan Tangerang. Bedanya dengan partai-partai baru, Partai Golkar dan PDI Perjuangan mempunyai stok calon anggota Dewan yang cukup di semua daerah pemilihan, sedangkan partai baru banyak yang tak punya calon sama sekali.

    Jadi, demokratisasi di dalam tubuh partai adalah tantangan tersendiri yang dihadapi partai ke depan karena akan sangat sulit untuk terus-menerus bersifat sentralistik seperti sekarang ini. Rakyat yang semakin hari semakin kritis dan cerdas akan melihat partai mana yang benar-benar demokratis dan memperjuangkan kepentingan mereka, tak semata-mata mengatasnamakan mereka.

    Ke depan, partai akan dituntut untuk lebih mengutamakan kepentingan konstituen yang bermukim di daerah dan, karena itu, mutlak diperlukan orang-orang daerah yang mengenal daerahnya yang duduk di Dewan. Partai yang tak melakukan demokratisasi dan menggali basis dukungan daerah bisa jadi akan ditinggalkan.

    Pemilu 2009 mungkin akan menjadi pemilu terakhir di mana rakyat masih membiarkan pengatasnamaan ini. Saya yakin pada pemilu berikutnya pekerjaan rumah partai politik adalah mengajak serta orang-orang daerah ke dalam panggung politik nasional, dan hanya dengan itulah kebersamaan kita sebagai nation akan terus langgeng dan terselamatkan.

    Hendaknya kita tetap mengingat, Indonesia yang luas dan majemuk ini dengan semua ketahanan nasional yang dimilikinya tetaplah tak pernah aman dari ancaman perpecahan kalau kita tak mendengar suara-suara dari luar Jakarta. Dalam konteks inilah peran partai politik menjadi sangat penting dalam menjaga semen perekat kita sebagai bangsa, dan ini hanya bisa dilakukan jika partai politik tak semata-mata menjadi partai orang Jakarta.

    Pemilu yang merupakan vertical accountability adalah kesempatan emas bagi partai-partai untuk membuktikan komitmen mereka bagi seluruh rakyat negeri ini. Kalau partai-partai gagal, bukan saja partai akan ditinggalkan, tapi bisa jadi demokrasi juga akan dikesampingkan. Apa mau?

  • Tidak ada komentar: