Kamis, 08 Januari 2009

Kerumitan Pemilu Akibat Keputusan MK

Ani Soetjipto
(Pengajar FISIP UI)

Mahkamah Konstitusi (MK) memberikan kejutan akhir tahun yang menggemparkan dengan membatalkan Pasal 214 UU No 10/2008 tentang Pemilu. Pasal itu mengatur tata cara penentuan calon terpilih yang menggunakan nomor urut.Pada saat bersamaan, MK menerima secara konstitusional Pasal 53 dan Pasal 55 UU Pemilu yang mengatur kebijakan afirmatif untuk kelompok perempuan.

Keputusan tersebut jelas merupakan pukulan telak bagi gerakan perempuan dan memukul balik capaian yang tak mudah dari perjuangan bertahun-tahun untuk memperoleh keadilan dan kesetaraan di ranah politik. Arena politik hingga saat ini masih menjadi arena yang belum sepenuhnya bisa diterobos oleh banyak perempuan Indonesia.

Bagi kalangan partai politik, keputusan ini juga pukulan yang tidak mudah karena akan melemahkan upaya panjang untuk membangun pelembagaan sistem politik sebagai institusi demokratis yang bisa berfungsi optimal dan berperan positif bagi kemajuan demokrasi di Indonesia.

Keputusan tersebut banyak dipuji oleh pejuang dan pegiat demokrasi sebagai kemenangan bagi demokrasi yang sesungguhnya di Indonesia. Media massa pun dalam komentarnya selalu menyebutkan keputusan tersebut adil dan demokratis karena mengembalikan kedaulatan kepada rakyat.

Sejujurnya, kita patut bertanya dan merenungkan kembali, apakah euforia kemenangan yang disuarakan banyak kalangan bisa dijadikan ukuran bahwa MK telah membuat keputusan yang bijak dalam masalah ini?
Ada banyak alasan yang harus dikemukakan bahwa sesungguhnya keputusan tersebut justru mencederai pembelajaran proses demokrasi yang hendak dibangun dengan susah payah di Indonesia. Keputusan itu menjadi preseden buruk, bagaimana suatu proses legislasi yang dibuat dengan cukup demokratis, yang dibangun dengan argumen dan diskusi panjang memakan waktu berbulan-bulan serta dengan biaya yang tidak sedikit, bisa berbalik dalam sekejap.

Bahkan, menghasilkan keputusan yang bertolak belakang, memutar balik, dan memorak-porandakan bangunan sebuah sistem pemilu yang digagas secara komprehensif oleh lembaga terhormat yang memang memiliki kewenangan dan kompetensi untuk itu.MK terlalu jauh melampaui kewenangannya. Tidak hanya mengurusi aspek hukum dan konstitusional, tetapi MK juga masuk ke ranah politik dan mencampuri bagaimana tata cara penentuan calon terpilih dalam pemilu. Kita semua mengerti bahwa sistem pemilu model apa pun, termasuk proporsional terbuka murni, juga bisa menghasilkan sistem politik demokratis. Sistem pemilu adalah mekanisme atau alat untuk menerjemahkan tujuan demokrasi yang hendak dibangun dan model sistem politik yang hendak dituju di masa depan.

Yang menjadi masalah adalah sistem yang dibangun dalam UU Pemilu No 10/ 2008 bukan sistem proporsional yang menggunakan mekanisme suara terbanyak, tetapi sistem proporsional semi tertutup yang memang dipilih dengan sadar oleh para pengambil kebijakan pada saat itu setelah melihat kondisi objektif di partai politik ataupun kondisi masyarakat Indonesia secara umum.

Walaupun sama-sama dinamakan sistem proporsional, sistem proporsional yang terbuka pun berbeda secara signifikan dengan sistem semi tertutup yang menggunakan nomor urut sebagai basis penentuan kandidat terpilih. Peran partai secara signifikan berbeda di antara varian dua sistem ini. Semi tertutup memberikan kedudukan kuat bagi partai politik, terutama pimpinan partai, sedangkan yang terbuka penuh peran partai relatif lebih lemah.

Selain berbeda dalam peran partai, dua sistem ini juga berbeda dalam penentuan pembuatan daerah pemilihan (dapil). Dalam sistem proporsional daftar terbuka, ukuran dapil yang kecil akan meningkatkan akuntabilitas karena wakil rakyat akan lebih dekat dengan konstituen yang jumlahnya lebih kecil. Sedangkan, dalam sistem semi tertutup, ukuran dapil relatif lebih besar agar beragam kelompok bisa terwakili karena kursi yang diperebutkan lebih banyak sehingga kepentingan beragam golongan diharapkan dapat diakomodasi dan mendapatkan tempat dan wakilnya dalam sistem ini.

Perbedaan lain adalah cara memberikan suara. Sistem suara terbanyak menuntut pemberian suara kepada kandidat mutlak harus dilakukan. Dalam sistem semi tertutup, pemberian suara bisa dilakukan, baik untuk partai politik maupun kandidat, di mana semua suara itu nantinya bisa dikonversikan menjadi kursi. Yang berbeda secara mendasar adalah sistem proporsional terbuka tidak bisa dikombinasikan dengan kebijakan afirmatif karena sifat persaingan yang terbuka. Kebijakan afirmatif hanya bisa dikombinasikan dalam sistem proporsional tertutup, semi tertutup, atau campuran.

Keputusan MK sama sekali tidak melihat secara komprehensif kaitan Pasal 214 dengan bangunan sistem pemilu yang menjadi roh dari UU No 10/2008. Hasil dari keputusan MK justru menimbulkan kekacauan, menghasilkan sistem tambal sulam, dan inkonsistensi di sana sini sehingga merusak koherensi dari sebuah bangunan sistem pemilu yang seharusnya utuh dan solid rancangannya dari hulu sampai hilir.

Ketika MK mencabut ketentuan Pasal 214 yang merupakan tata cara penentuan pemenang, sesungguhnya sistem yang dibangun menjadi porak-poranda dan hilang koherensinya dari hulu sampai hilir. Inkonsistensi dan koherensi, jika disisir, bukan hanya dalam mekanisme afirmatif terhadap perempuan yang menjadi tidak relevan, tapi banyak ketentuan lain dalam undang-undang itu yang harus gugur, seperti masalah bilangan pembagi pemilih (kuota kandidat), ukuran daerah pemilihan, tata cara penghitungan suara tiga tahap, parliamentary threshold, serta ketentuan tata cara memberikan suara dalam pemilu.

Sistem pemilu yang dirancang dengan tambal sulam sulit memenuhi tujuan mulia seperti yang diinginkan pemilu dengan sistem suara terbanyak yang menginginkan peningkatan akuntabilitas wakil rakyat. Sistem pemilu berkaitan erat dan tidak bisa dilepaskan dari sistem kepartaian yang ada saat ini. Partai politik adalah institusi utama yang menjadi sumber rekrutmen caleg yang bertarung dalam pemilu. Kualitas, mutu, dan kompetensi caleg tergantung dari mekanisme penjaringan mereka di dalam partai.

Proses kontestasi politik antarcaleg sudah dimulai dari dalam partai dan tidak bisa hanya secara naif diukur dalam pencoblosan di bilik suara untuk melihat akuntabilitas mereka. Mekanisme internal di dalam partai politik akan sangat menentukan, apakah tujuan akuntabilitas wakil rakyat bisa tercapai. Keputusan MK telah secara naif memotong mekanisme hulu hilir, secara instan ingin mendapatkan hasil optimal, berharap mendapatkan wakil rakyat yang akuntabel, serta melupakan proses yang berjalan dan dilalui dalam partai politik selama ini yang belum sepenuhnya demokratis.

Pimpinan partai memiliki kendali penuh dalam persoalan pencalonan dan penempatan nomor urut kandidat untuk diajukan dalam pemilu serta di dapil mana mereka ditempatkan. Tidak ada korelasi antara dapil yang diwakili dengan domisili caleg di mana sebagian besar caleg justru berdomisili di Jakarta. Kedekatan dengan pimpinan parpol, faktor politik uang, dan nepotisme masih menjadi pertimbangan.

Caleg yang ditawarkan juga tidak selalu kader yang memang mengakar di konstituen. Tidak sedikit partai politik yang mengambil jalan pintas dengan mencalonkan figur populer atau figur yang memiliki modal ekonomi kuat yang tidak terlihat rekam jejaknya di bidang politik. Mereka diragukan kompetensinya serta kualifikasinya untuk menduduki jabatan politik yang diperebutkan. Figur tersebut diragukan karena dapat menyuarakan kepentingan konstituen atau dapat secara efektif berfungsi menjalankan perannya di parlemen. Berpolitik secara instan adalah mengejar kepentingan jangka pendek yang lebih mengemuka jika kita mengikuti dari dekat bagaimana proses ini berjalan.

Sangat naif kiranya berharap perubahan di hilir seperti yang dibuat oleh MK dengan keputusannya itu bisa mencapai tujuan yang diinginkan bagi peningkatan akuntabilitas wakil rakyat dan mengembalikan kedaulatan di tangan rakyat jika situasi di hulunya, yaitu dalam partai politik, tidak kondusif bagi pencapaian tujuan itu.

Yang bisa terjadi adalah bumerang, wakil rakyat yang hanya sibuk memikirkan keamanan dan keselamatan dirinya dan sulit untuk dikendalikan oleh partai karena ada anggapan mereka mendapat mandat langsung dari rakyat. Cita-cita bagi penguatan sistem kepartaian serta cita-cita mewujudkan kesejahteraan bagi masyarakat mungkin hanya ilusi. Sungguh ironis jika Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga tertinggi pengawal konstitusi ikut berkontribusi dalam kerusakan ini.

Tidak ada komentar: