Kamis, 08 Januari 2009

Golput Bukan Ancaman

AJ Susmana

Menghadapi Pemilu 2009, Kiki Syahnakri tampak khawatir dengan potensi menguatnya golongan putih alias golput.

Kiki Syahnakri menulis banyaknya golput, terutama dalam pilkada belum lama ini, merupakan salah satu sisi negatif yang membayangi Pemilu 2009. Alasannya: banyaknya golput bisa berarti keterpilihan pemimpin tidak mencerminkan kehendak rakyat secara utuh.

Dengan kata lain, menurunkan kredibilitas dan legitimasi pemerintah yang dihasilkan sehingga berpotensi menimbulkan kerawanan politik yang bisa merusak integritas bangsa dan negara.

Ia pun berharap, ”jangan lagi ada tokoh yang menyerukan boikot pemilu atau mendukung golput. Ia juga mengharapkan adanya etika demokrasi dan kompetisi yang sehat menuju Pemilu 2009” (Kompas, 6/1/2009).

Realitas politik

Dalam kacamata formal, banyaknya golput bisa berarti seperti digambarkan Kiki Syahnakri. Namun, dalam soal politik sebagai strategi, kita harus realistis dan memandang golput sebagai realitas politik yang sedang berlangsung dan memiliki potensi terhadap kemenangan dan kekalahan partai tertentu.

Hanya partai yang solid keanggotaannya tak akan terpengaruh kampanye golput. (Apalagi) golput di era kini belum bisa digambarkan sebagai satu kekuatan politik yang terorganisasi, seperti pada Pemilu 1997 yang kian dapat mendeligitimasi rezim Orde Baru. Pada pemilu kali ini, golput masih merupakan gambaran abstrak yang bisa diolah dalam rangka memenangi partai tertentu bila partai itu sanggup, mengingat politik kepartaian kita pada masa reformasi masih dibayangi floating mass hasil depolitisasi Orde Baru selama 32 tahun.

Dalam hal tertentu, golput pada era reformasi bukan kesadaran politik, tetapi mungkin lebih banyak pada ke-apatis-an untuk mengikuti pemilu karena sudah muak dan tidak percaya terhadap lembaga politik dan bisa jadi juga tidak peduli saat hak pilihnya dalam Pemilu 2009 tidak diberikan sebagaimana mestinya oleh petugas yang bertanggung jawab untuk itu.

Sebagai gambaran, kita bisa membaca pernyataan Bre Redana terkait peran kelas kreatif dan momentum Pemilu 2009: ”Perubahan gaya hidup memengaruhi perubahan dunia kini. Peningkatan kualitas kehidupan boleh kita harapkan pada individu-individu yang mendorong berkembangnya ekonomi kreatif, bukan pada para caleg yang fotonya terpampang di poster-poster butut” (Kompas Minggu, 4/1/2009).

Pernyataan itu juga dapat diartikan sebagai sikap apatis atau tak adanya harapan pada para aktivis politik yang kini sedang berjuang di medan parlementarian (entah untuk melakukan perubahan atau mempertahankan status quo, tentu ini soal lain).

Kebebasan

Golput tentu saja banyak dimensi dalam alam demokrasi di era reformasi. Tak bisa disimpulkan sebagai ancaman begitu saja karena rakyat relatif punya kebebasan untuk mendirikan partai masing-masing sesuai tingkat kesadaran politik yang dimiliki.

Justru yang berbahaya dalam pemilu era sekarang adalah menguatnya politik uang dan kita tahu siapa-siapa yang memiliki uang di negeri ini. Itu artinya demokrasi semakin dijauhkan dari tangan-tangan kerakyatan yang tulus berjuang dan berkehendak mewujudkan demokrasi sebagaimana arti sebenarnya, yaitu Kedaulatan Rakyat.

AJ Susmana Alumnus Fakultas Filsafat UGM Yogyakarta

 

Tidak ada komentar: