Minggu, 04 Januari 2009

Dilema Suara Terbanyak

PUTUSAN Mahkamah Konstitusi (MK) yang membatalkan Pasal 214 huruf a, b, c, d,dan e Undang-Undang No 10/2008 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR,DPD, dan DPRD (UU Pemilu),disambut pro-kontra.

Putusan MK tersebut mengharuskan penentuan caleg (calon legislatif) terpilih melalui suara terbanyak. Dalam sidangnya, pertengahan Desember lalu, MK memutuskan Pemilu 2009 tidak boleh lagi menggunakan standar ganda, memakai nomor urut, dan perolehan suara masing-masing caleg seperti yang diakomodasi Pasal 214 huruf a,b,c,d,dan e UU No 10/2008.

Dengan demikian, penentuan caleg melalui kombinasi 30% bilangan pembagi pemilih (BPP) dan nomor urut menjadi gugur. Putusan MK itu sendiri menanggapi permohonan uji materi yang diajukan Mohammad Sholeh (caleg PDIP untuk DPRD Jawa Timur), Sutjipto, Septi Notariana, (keduanya caleg Partai Demokrat untuk DPR), dan Jose Dima S (warga negara biasa).

”Menimbang bahwa dalil pemohon beralasan sepanjang mengenai Pasal 214 huruf a, b, c, d, e UU 10/2008, maka permohonan pemohon dikabulkan,” kata Ketua MK Mahfud MD saat membacakan putusannya di Gedung MK, Jakarta,(Selasa,23/12/2008).

Alasannya, pasal 214 bertentangan dengan makna substantif kedaulatan rakyat, di mana pasal tersebut menyatakan,” Calon terpilih adalah calon yang mendapatkan suara di atas 30% BPP,atau menempati nomor urut kecil jika tidak memperoleh 30% BPP, atau menempati nomor urut kecil jika memperoleh BPP.” Artinya, dalam pandangan MK, ketentuan pasal itu inkonstitusional, karena bertentangan dengan Pasal 28 D ayat 1 UUD 1945.

Dalam putusannya,MK juga menyatakan jika memberikan hak kepada caleg terpilih berdasarkan nomor urut,itu sama halnya dengan memasung suara rakyat yang memilih caleg sesuai pilihannya. Di samping itu, hal tersebut juga mengabaikan tingkat legitimasi caleg terpilih berdasarkan suara terbanyak. Tentu saja, putusan MK ini disambut gembira caleg yang mendapat nomor urut ”sepatu”(nomor urut bawah).Sebab, merekapunya kesempatanyangsamadengancalegbernomor ”urut topi” (nomor jadi) untuk menjadi anggota dewan.

Sebaliknya, putusan MK ini membuat caleg bernomor jadi gundah.Mereka tidak bisa lagi berleha-leha mendapatkan suara, tetapi harus berjuang keras ”merayu”rakyat untuk memilihnya. Bukan tidak mungkin,meski mengantongi nomor urut jadi, mereka bisa terpental dari pemilihan jika tak mampu mendulang suara di daerah pemilihannya (dapil). Putusan MK tersebut memberi konsekuensi luas.

Setidaknya, putusan ini disebut-sebut bisa menimbulkan konflik di internal partai yang diduga telah ”memperdagangkan” nomor urut. Sebab, disebutsebut untuk mendapatkan nomor urut jadi (1 dan 2) para caleg tidak segan-segan untuk merogoh kocek mereka mulai ratusan juta hingga miliaran rupiah.

”Yang paling kena dengan putusan ini adalah mereka yang telanjur beli nomor jadi dan para elite parpol yang tidak mempunyai basis di dapilnya,” ujar anggota DPR dari Partai Amanat Nasional (PAN) Dradjad Wibowo kepada SINDO. Sebagian kalangan menilai, putusan MK ini berimplikasi positif terhadap demokrasi.Menurut Direktur Eksekutif Center For Electoral Reform (Cetro) Hadar Gumay, putusan ini bisa meminimalisasi peluang terjadinya ”money politics”. Sebab, sudah menjadi rahasia umum jika ada banyak praktik ”calo” nomor urut.

Harga nomor urut kecil (1 dan 2) bisa dihargai ratusan juta bahkan miliaran rupiah. ”Dengan sistem suara terbanyak,peluang terjadinya ‘mahar’ politik untuk nomor urut bisa benarbenar diberangus,”tukasnya. Selain itu,dengan putusan MK ini,suara rakyat menjadi lebih berpengaruh dibanding keputusan dan negosiasi elite partai politik (parpol).

Setidaknya, putusan MK ini juga akan membuka kesempatan lebih luas bagi calegcaleg baru, sehingga rakyat tidak hanya disuguhkan wajah-wajah elite politik lama.Di sisi lain,putusan MK ini membuat parpol mau tidak mau harus mengajukan caleg-caleg yang berkualitas dan dikenal publik.

Namun, sistem suara terbanyak juga bisa menciptakan dampak negatif jika tidak disikapi secara kritis. Sebab, dengan sistem ini bukan tidak mungkin H Mandra (pemeran Mandra dalam sinetron Doel Anak Sekolahan) akan mengalahkan Ketua DPR saat ini, Agung Laksono, untuk Dapil Jakarta Timur.Mandra merupakan caleg nomor urut dua Partai Amanat Nasional (PAN) dan Agung merupakan caleg nomor urut satu Partai Golkar di dapil yang sama.

Artinya, sangat mungkin sistem ini memunculkan terpilihnya caleg-caleg yang belum teruji secara politik. Selain itu,sistem ini juga akan menimbulkan persaingan antarcaleg dalam satu parpol. Jadi bukan hanya persaingan antarcaleg dari parpol lain. Tidak jarang,para caleg yang justru menyatakan persaingan terberat mereka justru harus melawan kawan sendiri. Hal ini sangat memungkinkan munculnya kampanye negatif antarcaleg. (abdul malik/ islahuddin/ faizin aslam)

Tidak ada komentar: