Sabtu, 17 Januari 2009

Dilema Politik Sri Sultan

 

Bagaimana bisa menjelaskan fenomena Sri Sultan Hamengku Buwono X pasca-pisowanan agung? Tergantung perspektifnya. Dalam perspektif politik, Sultan telah melangkah "jauh" dan masuk ke wilayah logika "marketing politik" yang rasional-kalkulatif.

Dalam perspektif kultural, keputusan Sultan mempersiapkan diri sebagai calon presiden dipertanyakan oleh sementara kalangan "rakyatnya" yang "ngeman". Bukankah Sultan cukup merupakan simbol kultural yang jauh di atas "politik"?

Sultan di era sekarang memang sudah sangat berbeda dengan di masa kejayaan Mataram di masa lampau. Kini Sultan tinggal simbol saja.

Tetapi terkait keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta, Sultan pun menjabat gubernur. Artinya dia adalah seorang pejabat politik, yang dalam struktur hierarki politik berada di bawah menteri dalam negeri dan presiden. Simbol kultural itu melekat di mata "rakyatnya" yang merasa punya ikatan simbolik dan kultural Mataraman, baik di Jawa maupun Luar Jawa.

Dalam perspektif kultural, Sultan dipandang sebagai sosok yang sakral. Tetapi tatkala Sultan pindah ke jalur politik atau berada di wilayah politik praktis, kesakralan itu "menyusut", setidaknya dipertanyakan. Tampaknya Sultan bukan tidak sadar akan hal itu. Tatkala popularitasnya naik, setidaknya terkonfirmasi dalam beberapa jajak pendapat terakhir, wajar kalau Sultan risau.

Setiap kali hadir di acara publik, pertanyaan apakah Sultan siap menjadi calon presiden selalu hadir. Tetapi tentu kurang etis kalau Sultan langsung menjawabnya. Sultan tak mau dikesankan "nggege mongso" dan "kemaruk kekuasaan", tapi "menjawab panggilan".

Dalam konteks inilah, hadir pisowanan agung, satu acara yang memberikan kesan bahwa memang Sultan dikehendaki oleh "rakyat" agar bersiap ke medan laga politik 2009.

Siapa dan Bagaimana

Siapa dan bagaimana Sultan hendak dicalonkan? Legitimasi pisowanan agung itulah yang kelak akan diuji. Ujian pertama tentu terkait dengan alam realitas: memenuhi aturan main sebagaimana ditetapkan dalam Undang-Undang Pemilihan Presiden. DPR telah menyepakati pasal krusial bahwa calon presiden dan wakil presiden harus didukung oleh partai politik atau gabungannya yang memperoleh minimal 20% kursi di DPR, atau 25% dukungan suara dalam pemilu legislatif.

Dukungan partai mutlak bagi Sultan. Modal Sultan dalam hal ini masih kelihatan cekak. Yang terang-terangan baru Partai Republikan, sebuah partai baru yang "masih belum jelas masa depannya". Partai Republikan, secara spekulatif, telah memanfaatkan Sultan sebagai vote getter.

Tentu hal tersebut merupakan langkah politik yang cukup masuk akal, setidaknya berkaca pada pengalaman kemenangan Partai Demokrat tempo dulu. Tokoh yang kuat dapat menarik dukungan signifikan bagi partai. Publik memang akan cepat dalam mengidentifikasi sebuah partai (baru) apabila di dalamnya ada tokoh yang "kuat", semisal Wiranto pada Partai Hanura atau Prabowo Subianto pada Partai Gerindra.

Akan tetapi, apakah Partai Republikan mampu meraup dukungan 25% suara? Untuk pemilu legislatif yang ekstraketat, pada 2009, dengan teknis "pencoblosan" yang berbeda dengan sebelumnya, bahkan partai-partai lama pun diperkirakan tidak akan ada yang sanggup meraih dukungan suara minimal 25%.

Partai Golkar, PDIP, Partai Demokrat, PKS, atau PAN, misalnya, menurut berbagai hasil jajak pendapat, diperkirakan hanya akan memperoleh dukungan di bawah 20%. Kecuali ada keajaiban. Bagaimana dengan Partai Golkar, tempat Sultan menggantungkan aktivitas politiknya selama ini? Dilematis.

Walaupun namanya disebut-sebut atau dinominasikan bersama sembilan nama lain dalam rapat pimpinan nasional Partai Golkar belum lama ini, belum tentu kelak Golkar mengusulkan Sultan sebagai calon presiden. Ada sosok yang menjadi pesaing utama di internal Golkar, Jusuf Kalla (JK).

Pihak JK masih menghendaki agar JK berpasangan kembali dengan SBY. Kalau memperoleh dukungan 25% pada pemilu legislatif, bisa saja Golkar memasangkan Sultan-JK, tetapi apakah cukup strategis? Apakah Sultan rela? JK sendiri bagaimana? Target perolehan suara Partai Golkar sebanyak 30% bukan target yang "cukup masuk akal" kalau melihat kondisi partai ini sekarang?yang tengah menghadapi dilema politik yang sangat serius.

Ancaman pesaing seperti Partai Hanura dan Gerindra, selain yang secara "ideologis sama" seperti PDIP dan Partai Demokrat, tak dapat disepelekan. Persepsi masyarakat atas jalannya pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY)-JK akan sangat juga berpengaruh.

Dilemanya, apabila persepsinya jelek, Golkar kena imbasnya. Sebaliknya kalau "baik", belum tentu Golkar akan diapresiasi secara signifikan --mengingat SBY punya partai sendiri, dan pasangan SBY-JK pun tempo dulu dicalonkan bukan oleh Golkar.

Para Pesaing

Pesaing yang terbilang berat bagi Sultan tampak jelas ada dua: Megawati Soekarnoputri sang kandidat PDIP dan SBY dari Partai Demokrat. Masih ada lain-lain pesaing seperti Wiranto, Prabowo, Sutiyoso, dan sejumlah nama lain. Megawati dan SBY sudah punya pengalaman pada pemilihan sebelumnya.

Sebagai "oposisi", kubu Megawati juga menyerukan "perubahan", satu tema yang "sama" dengan yang dikumandangkan Sultan, bahkan tokoh lain. Tema "perubahan" dan "figur alternatif" merupakan tema yang mengedepan di hampir semua figur nonincumbent. Tim Sultan harus berpikir keras untuk mencari yang lebih khas dari sosok sang kandidat.

Yang penting juga adalah soal pasangan masing-masing. Kimiawi pasangan bagaimanapun sangat menentukan penilaian dan elektabilitas dalam pemilihan presiden. Pemilih mungkin suka pada Sultan, tetapi tidak suka pada pasangannya. Karena tidak suka, maka "pemilih potensial" memilih untuk tidak memilih. Bisa saja itu terjadi dalam jumlah yang signifikan.

Hal yang sama bisa dialami yang lain. Faktor siapa pasangan calon tak bisa diremehkan. Harus ada simulasi untuk mengetahui komposisi pasangan yang tepat. Andai pasangan SBY-JK maju kembali, maka pasangan ini bisa menang, bisa juga kalah. Menang, salah satu faktornya dipercaya adalah kekuatan figur SBY, bukan JK --mengingat diasumsikan SBY berpasangan dengan siapa pun bisa menang.

Tetapi, bisa saja JK kali ini menjadi "faktor negatif", justru menjadi faktor pengurang suara --mengingat diasumsikan JK tidak populer. Dalam konteks ini, Sultan akan berpeluang kalau pasangannya mampu menjadi "faktor positif" dalam menyerap dukungan.

Asumsinya pula Sultan tidak mau menjadi calon nomor dua. Mengapa Sultan diperkirakan tidak mau menurunkan posisi tawarnya menjadi calon nomor dua? Pertama, terkait dengan "gengsi politik". Agaknya absurd kalau Sultan rela menjadi orang keduanya SBY atau Megawati.

Kedua, masih berlakunya "logika ideal" pasangan Jawa-luar Jawa. Pasar politik saat ini menempatkan orang luar Jawa di posisi potensial tertinggi sebagai calon wakil presiden, ketimbang figur Jawa. Memang aneh, tetapi "persepsi" yang kerap mengemuka memang demikian.

Sultan pernah mengundurkan diri dari arena konvensi Partai Golkar menjelang Pemilu 2004, setelah Akbar Tandjung sang ketua umum diputus bebas oleh Mahkamah Agung. Mungkinkah kelak Sultan juga akan mundur apabila diperkirakan akan kalah bersaing dengan pasangan lawannya? Bagaimana exit strategy-nya kalau Sultan diperkirakan akan kalah?

Akankah ada pisowanan agung lagi? Sultan dan Partai Golkar sama-sama berada dalam lingkaran politik yang dilematis. Kita masih akan lihat, bagaimana hasil pemilu legislatif 2009. Yang jelas, Sultan sudah memperjelas peta masa depan politik nasional, walaupun masih sangat banyak yang kabur. Wallahua'lam.(*)

M Alfan Alfian
Dosen FISIP Universitas Nasional,

Tidak ada komentar: