Rabu, 07 Januari 2009

Politik "Matsya-Nyaya"

Toto Suparto

Indonesia Corruption Watch memperkirakan politik uang akan dominan pada Pemilu 2009. Politik uang itu menjadi pelicin bagi calon anggota legislatif untuk meraih suara sebanyak mungkin.

Hal itu dilakukan caleg akibat putusan uji materi Mahkamah Konstitusi yang membatalkan Pasal 214 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPRD, dan DPD (Kompas, 3/1).

Meski politik uang sulit diusut sebagai perkara pidana pemilu, orang bakal sepakat bahwa politik uang tidak taat pada etika politik. Apa jadinya jika politisi mengabaikan etika politik? Maka, inilah awal dehumanisasi. Politisi itu tak menempatkan dirinya pada posisi orang lain. Ia enggan memperhitungkan orang lain, enggan pula bertemu wajah orang lain, dan jangan harap mempunyai empati. Kelak yang terjadi, kepentingan rakyat adalah urusan belakangan dan kepentingan pribadi atau kelompok menjadi prioritas.

Itulah yang dikhawatirkan terjadi tahun ini saat para politisi bersaing meraih kursi kekuasaan melalui Pemilu 2009. Hasrat berkuasa acap membuat mereka mengabaikan etika politik. Nafsu memenangi persaingan dalam Pemilu 2009 membuat mereka melupakan kesopanan moral.

Ketika etika politik dilupakan, para politisi terdampar pada praktik politik Matsya-Nyaya, sebuah gambaran politik ala filsafat India. Matsya-Nyaya digambarkan pelukis Pieter Breughel, ”Ikan-ikan besar memakan ikan-ikan kecil”.

Tanpa altruisme

Matsya-Nyaya atau hukum ikan ini ingin menggambarkan kehidupan yang tidak memiliki kesopanan moral. Matsya- Nyaya merupakan terminologi India, tetapi di Barat hukum ikan ini juga dikenal khalayak karena menjadi kelaziman bagi politisi di sana. Breughel melukiskan kebiasaan politisi itu dengan kehidupan di laut di mana ikan-ikan besar mencaplok ikan kecil. Ketika ikan besar itu ditangkap nelayan, dari perut ikan besar itu berhamburan ikan-ikan kecil.

Breughel ingin menggambarkan kehidupan laut yang rakus dan berdarah dingin, persis perilaku politik di mana pun dan kapan saja. Politik itu mengorbankan si kecil. Nyaris menjadi kelaziman manakala yang besar melahap si kecil. Ini sebagai metafora dari sikap yang mendahulukan kepentingan sendiri.

Di sini egoisme mengalahkan altruisme. Egoisme beranggapan satu-satunya tugas adalah membela kepentingan diri, sementara altruisme mengajarkan hidupmu merupakan sesuatu yang hanya dapat dikorbankan. Masing-masing tak bisa berdiri sendiri. Idealnya, egoisme berjalan seimbang dengan altruisme. Apalagi moralitas menuntut agar menyeimbangkan kepentingan kita dengan kepentingan lain. Dalam bahasa lain, berperilaku seperti ikan besar tidaklah mengikuti moralitas.

Begitulah perilaku ikan besar. Mereka terus mendekati ikan-ikan kecil dengan berbagai strategi, lalu mencaploknya. Strategi itu digambarkan dalam Matsya- Nyaya berupa empat macam pendekatan yaitu saman, danda, dana, dan bheda. Akan lebih jitu jika ditambahi dengan maya, upeksa, dan indrajala.

Dalam politik kita, saman bisa diterjemahkan sebagai menebar pesona, danda berupa kekerasan, dana sebagai politik uang, dan bheda politik pecah belah. Melalui empat upaya ini saja si kecil dibuat tak berdaya. Apalagi jika ditambah maya yang bisa diartikan sebagai tipuan, upeksa sebagai kepura-puraan, dan indrajala yang lazim diartikan muslihat.

Jika para politisi (dimetaforkan sebagai ikan besar) mempraktikkan cara pendekatan itu, maka wong cilik (ikan kecil) menjadi tak berdaya. Saat inilah ikan-ikan besar itu dengan mudah mencaplok si kecil. Artian mencaplok di sini adalah menguasai sehingga mudah dikendalikan atas kemauan para politisi.

Melawan

Barangkali di antara kita sudah merasakan politik Matsya-Nyaya ini. Jangan terkejut, di masa mendatang akan kian terasa dan bisa lebih vulgar lagi. Memang inilah pilihan untuk menuju kursi kekuasaan, persis ungkapan dalam satu bagian Mahabharata, ”Jika kamu tidak siap berbuat kasar dan membunuh orang, seperti nelayan membunuh ikan, lupakan semua harapan untuk meraih keberhasilan besar”. Ungkapan ini seolah menegaskan, jangan menjadi politisi jika enggan menerabas etika.

Dalam kehidupan laut yang rakus itu, ikan-ikan kecil memberi perlawanan. Ini merupakan pesan, melawan itu perlu. Kita tak usah memberi tempat bagi politisi yang minus etika. Maka, gerakan menolak politisi busuk menjadi penting. Bukan sekadar seremonial, tetapi sungguh-sungguh diwujudkan dalam keseharian.

Melawan bukan berarti menggunakan melulu kekerasan atau cara-cara yang dilakukan politisi. Dana bukan dilawan dana, maya bukan ditandingi maya, atau bheda dibendung dengan bheda. Semua ini, kata filsuf moral, hanya bisa dilawan diri sendiri dengan suara hati.

Suara hati merupakan kesadaran moral dalam situasi nyata, artinya kesadaran dalam situasi itu kita bisa memilih antara melakukan yang benar atau yang salah, serta bahwa kita tidak boleh melakukan yang salah. Teolog John Henry Newman menegaskan, dalam suara hati kita menyadari berkewajiban mutlak untuk melakukan yang baik dan benar serta menolak yang buruk dan salah.

Jika kita punya suara hati, maka politik Matsya-Nyaya yang dipraktikkan para politisi tidak akan mendapat tempat. Perlawanan ini setidaknya menumbuhkan optimisme, politik bisa dijalani secara santun dan beretika. Saatnya kita melawan.

Toto Suparto Pengkaji Etika; Berkontemplasi di Parangtritis, Yogyakarta

 

Tidak ada komentar: