Sabtu, 17 Januari 2009

Pendidikan Moral bagi Para Politisi

 

Indonesia saat ini memiliki 33 provinsi, 348 kabupaten, dan 91 kota. Dengan jumlah tersebut rata-rata dalam waktu 4 hari sekali negeri kita mengadakan pemilihan umum/pemilihan kepala daerah langsung oleh rakyat.

Ini menunjukkan bahwa Indonesia merupakan negara demokrasi terbesar di Asia Tenggara. Di tengah hiruk- pikuk pesta demokrasi tersebut, kita mendengar berbagai kasus korupsi, jual beli suara, pemalsuan ijazah sekolah, dan praktik tidak bermoral lain yang dilakukan oleh beberapa "oknum" politisi kita. Penulis menyebutnya sebagai "oknum" karena perilaku tidak bermoral itu hanya dilakukan oleh sebagian kecil dari politisi kita yang tidak bertanggung jawab.

Padahal, sama seperti profesi yang lain, ada sebagian kecil orang yang perilaku moralnya memang mencoreng profesi politisi. Seperti juga di bidang peradilan, ada hakim yang adil dan ada hakim yang bisa dibeli dengan uang. Karena itulah perlu dibedah pentingnya pendidikan moral bagi politisi. Tapi terlebih dulu perlu dijawab pertanyaan berikut, apakah pendidikan moral penting bagi politisi? Seorang filsuf, Cicero, pada 106-43 tahun Sebelum Masehi mencetuskan istilah moral untuk pertama kali.

Moral diartikannya sebagai kebiasaan baik yang diwujudkan dalam perilaku. Istilah moral ini berasal dari kata Latin, "mos" (jamak dari mores). Artinya, semua yang baik dan benar yang berlaku dalam masyarakat. Maka, mewujudkan politisi bermoral berarti politisi yang memiliki kebiasaan baik yang diwujudkan dalam perilaku nyata. Itu artinya, seorang politisi tidak bisa hanya mengatakan bahwa dia bermoral, tapi masyarakat tidak melihat satu aksi nyata positif atau sebaliknya, politisi itu justru melakukan perilaku buruk yang melanggar norma-norma masyarakat.

Friedrich Nietzsche menegaskan bahwa moral seharusnya diterima sebagai sesuatu yang "diberikan." Itu artinya, moral itu sesuatu yang ditanamkan dengan sengaja dan moral bersumber dari luar diri manusia. Moral tidak inheren dalam diri manusia sejak manusia itu lahir, namun merupakan proses sosiologis dan budaya yang dipengaruhi oleh perkembangan zaman. Pendidikan moral ini sesuatu yang diperlukan untuk menjaga tatanan kehidupan manusia.

Selama ini, kita mendapatkan pendidikan moral dari berbagi sumber, mulai dari orangtua atau keluarga, institusi agama, lingkungan sosial, suku, sekolah, kelas sosial, hingga pemerintah. ***

Terkait pendidikan moral untuk politisi, partai politik (parpol) sebagai salah satu motor penggerak roda demokrasi turut bertanggung jawab menanamkan moral pada para politisinya. Partai politik sebagai salah satu institusi yang menanamkan moral yang tinggi bagi para politisinya perlu berpegang pada beberapa kaidah sebagai berikut.

Sesuai definisi moral sebelumnya, kaidah pertama, pendidikan moral bagi politisi harus menyangkut pendidikan dalam berkata-kata. Saat ini banyak politisi yang mengumbar janji ketika kampanye, namun semua janjinya itu dilupakan. Pendidikan moral politik harus dilaksanakan dengan menekankan pada politisi untuk bertindak jujur dan menepati janji. Pemerintah bisa membuat regulasi yang mengatur tegas agar politisi yang berjanji selama kampanye, menjalankan janjinya.

Paling tidak, ada mekanisme pertanggungjawaban di hadapan konstituen tentang pelaksanaan janji-janjinya. Kaidah kedua, pendidikan moral bagi politisi harus menekankan politisi untuk bertindak sesuai norma yang berlaku dalam masyarakat, baik itu norma agama, kesopanan, maupun hukum. Tidak melakukan korupsi. Itu merupakan norma tegas yang tidak boleh dilanggar oleh politisi yang mengaku dirinya bermoral. Seorang politisi yang korup harus dengan tegas disebut sebagai politisi tidak bermoral.

Bahkan tidak hanya korupsi, politisi yang memanfaatkan jabatan atau kekuasaannya untuk memupuk kekayaan pribadi dan mengabaikan kepentingan publik, juga bisa kita sebut sebagai tidak bermoral dan menyalahgunakan kekuasaan. Kita bisa berkaca dengan beberapa hal dalam dunia politik di Thailand. Tema korupsi menjadi tema utama yang diusung kelompok oposisi Aliansi Rakyat untuk Demokrasi (PAD).

Kelompok oposisi tersebut pada 2006 menggunakan isu korupsi untuk mendorong militer melakukan kudeta tidak berdarah terhadap Perdana Menteri (PM) Thailand Thaksin Shinawatra kala itu. Kini PAD bergerak lagi dengan menuduh PM Somchai Wongsawat juga menjadi bagian dari kroni Thaksin yang dituduh korup. Tema korupsi yang dilakukan politisi mampu menggerakkan ribuan pendukung oposisi untuk melumpuhkan Bangkok, ibu kota Thailand.

Kaidah ketiga, pendidikan politik harus menanamkan rasa malu pada politisi dan bersedia mengundurkan diri jika melakukan pelanggaran moral. Pendidikan politik untuk menanamkan rasa malu ini sangat penting karena banyak politisi kita mungkin kurang memiliki rasa malu ini. Mereka tetap saja menjabat posisi publik, meskipun masyarakat mendesaknya untuk mengundurkan diri karena melakukan kesalahan atau tindakan tidak bermoral. Budaya malu dan bersedia mundur dari jabatan ini harus ditanamkan dalam pendidikan politik untuk para politisi kita.

Politisi negeri ini perlu berkaca pada para politisi di Jepang yang langsung mundur jika terjadi kejadian yang tidak bisa ditanganinya. Penulis lebih menekankan peran parpol dalam pendidikan moral ini karena dengan sistem multipartai saat ini, parpol memiliki peran strategis menanamkan pendidikan moral ini secara lebih tegas. Artinya, parpol memiliki wewenang untuk memperingatkan atau memecat politisinya yang mengabaikan nilai moral.

Tentu saja parpol itu sendiri juga harus memiliki kode etik yang jelas, transparan, bisa dipakai untuk mengevaluasi kinerja politisinya. Peran masyarakat adalah ikut mengawasi di tingkat akar rumput. Masyarakat bisa bersama media mengontrol parpol dan para politisinya. Masyarakat harus aktif mengungkapkan pendapatnya mengenai parpol dan para politisinya. Media bisa menjembatani suara masyarakat ini dengan lebih baik sehingga pemerintah juga dapat merespons dengan cepat. Perkembangan media televisi, internet, dan surat kabar tentu semakin memeriahkan proses pengawasan publik terhadap para politisi kita. ***

Masyarakat tidak boleh pasif jika melihat ada politisi yang tidak bermoral. Mereka harus mengungkapkan ke publik melalui bantuan media yang menjadi salah satu corong kritik untuk perbaikan. Itu artinya, masyarakat kita pun semakin lama akan terdidik untuk sadar politik. Masyarakat yang sehat akan melahirkan politisi yang "sehat" atau bermoral. Masyarakat yang sehat tidak mungkin akan membiarkan politisi tidak bermoral berada di gedung majelis perwakilan rakyat.

Masyarakat yang sadar politik ini penting karena selama ini masyarakat kita hanya menjadi objek dalam setiap pemilihan umum. Masyarakat sehat ialah masyarakat yang bermoral, yang bereaksi cepat jika ada perilaku tidak bermoral sedang terjadi. Politisi tidak bermoral tidak mungkin bisa bertahan di tengah masyarakat yang sehat. Publik yang sehat secara moral tentu juga tidak akan pernah memilih politisi busuk yang saat ini mungkin masih bisa berkeliaran.

Penjelasan ini menjawab pertanyaan besar, mengapa politisi busuk saat ini masih ada? Karena tentu saja kembali pada masyarakat kita yang belum sehat secara moral. Ini secara mudah dapat kita lihat dari berbagai perilaku menyimpang yang banyak terjadi dalam masyarakat kita, seperti kriminalitas yang marak dengan berbagai bentuknya, korupsi yang merajalela di segala sektor kehidupan baik itu di perusahaan swasta atau pun di pemerintahan dan birokrasi.

Pendidikan moral hanya bisa melahirkan politisi yang jujur dan bertanggung jawab jika di dukung oleh adanya masyarakat yang sehat moralnya. Inilah pilar yang harus dibangun oleh kita semua. Pendidikan moral yang sistematis dan tepat dapat menguatkan nilai-nilai civility atau keadaban. Civility adalah konsep pembangunan politik yang mengedepankan kesopanan, kesantunan, tata krama, kejujuran, keadilan, moral dan etika dalam kehidupan berdemokrasi.

Civility mensyaratkan adanya kesetaraan, dialog, kompromi, dan toleransi, serta tidak ada satu pihak yang memaksakan kehendaknya. Muara akhir dari proses pendidikan moral ialah terwujudnya kepemimpinan yang mementingkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Selanjutnya, kesejahteraan sosial dapat dinikmati semua anak bangsa.(*)

Prof Dr I Made Putrawan
Direktur Pascasarjana Universitas Negeri Jakarta

Tidak ada komentar: