Rabu, 21 Januari 2009

Strategi Kampanye


PAN Mencoba Mendekati Marhaen dan Santri Pondok

Umpamanya, aku jadi direktur,

tentu tidak jadi penganggur,

O ya,... ya nasib,

Nasibmu jelas bukan nasibku.


Sekelompok penyanyi jalanan dengan gitar dan ketipung memainkan lagu-lagu Iwan Fals. Udara dingin Blitar Selatan, Jawa Timur, Sabtu (17/1) pukul 01.30 hanya dilawan dengan kopi dan teh hangat. Puluhan orang duduk di atas tikar melingkari piring-piring yang berisi pisang dan rambutan. Puluhan lainnya duduk di pinggir jalan yang cukup ramai dilalui truk yang penuh muatan dan bus antarkota.

Menemui konstituen dari kalangan marhaen di Blitar Selatan pada dini hari, sambil duduk lesehan di pinggir jalan, mungkin tidak pernah dilakukan ketua umum partai politik, selain Soetrisno Bachir dari Partai Amanat Nasional (PAN). Setelah siangnya menemui konstituen di lereng Gunung Semeru dan malam sebelumnya mengikuti manakip Syekh Abdulkadir Djaelani di Kediri, Soetrisno masih segar melayani tanya-jawab selama satu jam.

Inilah pemilik suara di Jatim yang diharapkan akan menambah suara PAN pada pemilu mendatang. Mereka datang dari basis kaum marhaen dan santri pondok pesantren. Hanya dalam waktu 72 jam, warga dan kader PAN di sembilan kabupaten di Jatim ditemui dan diajak berbicara tentang perubahan yang ditawarkan PAN.

Inilah energi politik yang sedang dikumpulkan PAN. Geoff Mulgan (1995) mengatakan, untuk mendapatkan keberhasilan dalam politik, aktor politik harus mampu menghimpun energi politik masyarakat. Layaknya sumber energi, ia membedakan energi politik ini menjadi energi yang bisa diperbarui dan yang terbatas. Pertama, energi yang kuat yang berasal dari arus dinamis masyarakat, mungkin berupa keyakinan diri kelas yang baru tumbuh ataupun berupa tambahan penduduk. Ini seperti energi yang berasal dari fosil, dan jumlahnya terbatas. Energi ini muncul ke permukaan akibat perubahan seismik dalam struktur sosial, dan bisa dimiliki semua orang yang mempunyai akal untuk menggunakannya.

Kedua, energi yang bisa diperbarui yang berupa nilai dan pemikiran tradisi yang bertahan dari kondisi dari mana mereka berasal. Energi ini berupa ide yang memberikan inspirasi dan memberikan arah sepanjang waktu, dan yang dapat dimanfaatkan untuk memperbarui semangat dan tujuan gerakan-gerakan yang dalam pertumbuhannya telah terlalu terbiasa dengan kekuasaan dan kompromi. Energi itu dikumpulkan tidak hanya untuk mengalahkan musuh politik, tetapi juga untuk menyelamatkan diri dari kemandekan atau kejumudan.

Energi ini, dibangun dengan sebuah kompromi besar untuk membentuk sebuah negara besar yang memiliki kemandirian.

”Berpikiran positif itulah kunci kemenangan. Selalu berprasangka baik terhadap Allah Sang Pencipta. Jika kita berprasangka baik terhadap Allah, balasan yang diterima bukan hanya baik untuk diri kita, tetapi juga untuk kedamaian seluruh alam,” ujarnya.

Meskipun warga Blitar adalah kaum marhaen, dan bagi PAN merupakan keluarga baru, namun bukan berarti tidak bisa menjadi pemilih. Asalkan kader dan calon anggota legislatif (caleg) dari PAN selalu menyapa dan menebar bakti, dan bukan menebar simpati kepada mereka. ”Mereka juga cinta perubahan, dan itu tidak bisa dihentikan,” ujarnya.

Di Jakarta, Selasa, Wakil Presiden M Jusuf Kalla menyarankan agar masjid tak dipakai sebagai arena politik untuk berkampanye. Saran Wapres itu disampaikan saat menerima Lembaga Survey Jamaah Masjid Indonesia (LSJMI) di Istana Wapres, Jakarta.

”Supaya tak salah, survei juga harus sesuai aturan,” kata Wapres. LSJMI akan melakukan survei calon presiden pilihan jemaah masjid. (mam/har)

Tidak ada komentar: