Rabu, 21 Januari 2009

Iklan Politik dan Politik Ikon


Biaya Iklan Politik Tahun 2008 Rp 2,2 Triliun

Oleh M Hernowo

Beriklan semaksimal mungkin di berbagai media massa dengan tema yang menjawab kebutuhan masyarakat. Itulah salah satu senjata utama partai politik serta bakal calon presiden dan anggota legislatif untuk menyongsong persaingan di Pemilihan Umum 2009.

Fadli Zon, Wakil Ketua Umum Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra), menilai iklan yang selama ini dilakukan parpolnya setidaknya efektif memperkenalkan Gerindra ke masyarakat.

”Hasil iklan (Gerindra) selama ini bahkan melebihi prediksi. Pada April 2008, hanya 3 persen responden yang mengetahui Partai Gerindra. Namun, pada Juni, angkanya meningkat menjadi 17 persen, 59 persen pada Agustus, dan 84 persen pada Oktober 2008,” ujar Fadli.

Tingginya tingkat pengetahuan terhadap Gerindra, lanjut Fadli, akhirnya membuat masyarakat berbondong-bondong mendaftarkan diri menjadi anggota parpol itu. Sampai sekarang, sudah ada 7,5 juta orang yang mengembalikan formulir untuk menjadi anggota Gerindra.

”Banyaknya masyarakat yang sudah tahu Gerindra juga memudahkan caleg dan pengurus parpol kami untuk melancarkan serangan darat, meningkatkan persentase keterpilihan di masyarakat,” paparnya.

Iklan diyakini juga faktor penting meningkatnya popularitas Partai Demokrat (PD) belakangan ini. ”Iklan Demokrat masif dan memberi kesan positif,” kata Direktur Eksekutif Lembaga Survei Indonesia (LSI) Saiful Mujani.

Dalam survei pada Desember 2008, LSI mencatat 23 persen responden memilih Partai Demokrat jika pemilu diadakan bulan itu.

Anggaran iklan

Namun, dengan alasan belum dihitung, Fadli tak menyebutkan anggaran yang telah dan akan dibelanjakan Gerindra untuk iklan di media massa. Dia hanya menegaskan bahwa iklan Gerindra tidak akan berkurang hingga Pemilu 2009.

Adapun Ketua PD Anas Urbaningrum mengaku kurang memahami strategi dan anggaran iklan partainya.

Wakil Direktur Eksekutif Lembaga Pemenangan Pemilu Partai Golkar Jeffrie Geovanie juga tidak menyebutkan anggaran parpolnya untuk iklan di media. Yang pasti, Golkar akan terus menambah frekuensi iklan hingga pelaksanaan pemilu.

”Jika modal iklan kami 100 persen, sebanyak 15 persen dipakai pada bulan Januari, 30 persen dibelanjakan pada Februari, dan sisanya, 55 persen, pada bulan Maret,” katanya.

Dengan strategi iklan yang makin masif, ditambah serangan darat para caleg dan pengurus parpolnya, Jeffrie yakin posisi Golkar, yang dari sejumlah survei saat ini disebutkan di bawah PD dan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P), akan terus meningkat hingga pelaksanaan pemilu.

Ketua PDI-P Maruarar Sirait juga menegaskan, parpolnya tetap akan beriklan di media massa, tetapi jumlahnya terbatas. Persentase terbesar dana kampanye PDI-P akan dialokasikan pada program-program yang berkaitan dengan pemberdayaan masyarakat. Misalnya, pemberian bibit padi untuk petani.

”Iklan itu mahal. Dalam kondisi ekonomi rakyat yang masih terpuruk seperti sekarang, tidak etis jika menghamburkan uang hanya untuk beriklan. Masyarakat akan lebih mengingat tindakan langsung yang mereka terima, dibandingkan iklan,” katanya.

Meningkat tajam

Meski belum ada data yang pasti dan valid tentang biaya dan anggaran iklan setiap parpol dan kadernya di media massa, iklan mereka pada tahun 2009 diperkirakan makin gencar.

Selain makin dekatnya pemilu, kondisi ini juga dipicu keputusan Mahkamah Konstitusi bahwa penetapan caleg terpilih berdasarkan suara terbanyak. Keputusan itu akan memancing caleg lebih agresif mengiklankan dirinya.

Keadaan itu akan menimbulkan kerumitan tersendiri karena biaya kampanye yang dilaporkan ke Komisi Pemilihan Umum, adalah biaya kampanye parpol.

Padahal, Nielsen Media Indonesia mencatat biaya iklan pemerintahan dan politik tahun 2008 telah mencapai Rp 2,208 triliun, atau naik 66 persen dibandingkan dengan tahun 2007 yang hanya Rp 1,327 triliun.

Itu terjadi karena efektivitas iklan di media massa tidak hanya telah dirasakan parpol, seperti Gerindra atau Partai Demokrat.

Menengok hasil pemilihan presiden 2004, saat itu pasangan Yudhoyono-Kalla yang diusung partai kecil gencar beriklan di media massa, dan nyatanya dapat mengalahkan Megawati-Hasyim.

Bima Arya Sugiarto, pengajar di Universitas Paramadina, Jakarta, menambahkan, efektivitas iklan politik terjadi karena belum selesainya histeria media, khususnya televisi.

”Televisi hampir selalu ditemukan, meski kita berjalan di permukiman kumuh atau pelosok Indonesia. Hampir semua yang disiarkan media itu juga dilahap masyarakat. Jadi dapat tampil di media tersebut merupakan kesempatan besar yang dapat dimanfaatkan untuk apa saja, termasuk kampanye politik,” papar Bima.

Maraknya iklan di media massa, juga diakibatkan rendahnya keterkaitan antara parpol dan masyarakat selama ini.

Iklan menjadi sarana untuk menutup kelemahan parpol selama ini, khususnya dalam menumbuhkan keterkaitan dengan masyarakat.

Jika partai politik berhasil membangun jaringannya di masyarakat, mereka tidak perlu banyak beriklan di media massa.

Tak kritis

Namun, yang mengkhawatirkan adalah berbagai iklan itu muncul di tengah kesadaran dan pengetahuan sebagian besar masyarakat yang rendah terhadap politik. Akibatnya, iklan cenderung langsung diterima tanpa pengkritisan sebelumnya.

Kondisi seperti ini akhirnya hanya menampilkan politik ikon atau simbol, yaitu politik yang berdasarkan ikon yang dibentuk dengan citra tertentu di media massa.

Itu bukanlah politik substansial yang berdasarkan rekam jejak para tokohnya serta kemampuan mereka untuk menyusun dan melaksanakan program kerja yang menjawab kebutuhan masyarakat.

”Risiko salah pilih besar kemungkinan terjadi pada politik ikon. Apalagi jika politik uang mulai ikut bermain. Sebab, yang muncul dalam citra di media bisa amat berbeda dengan kenyataan,” papar Bima.

Telusuri asal dana

Wakil Koordinator Indonesia Corruption Watch (ICW) Ibrahim Zuhdi Fahmi Badoh menuturkan, pengkritisan terhadap iklan politik di berbagai media setidaknya dimulai dengan mengetahui asal dana untuk membiayai iklan itu, berapa besarnya, dan dibelanjakan ke mana saja. ”Parpol dan kandidat yang beriklan, minimal harus dapat menjelaskan secara terbuka masalah ini,” tuturnya.

Jangan sampai, lanjutnya, berbagai iklan itu dibiayai oleh anggaran publik seperti yang ada di departemen atau APBN/APBD. Sebab, jika sampai terjadi, artinya, iklan itu telah memakai dana yang seharusnya dialokasikan untuk kesejahteraan rakyat.

Iklan tersebut juga jangan sampai dibiayai oleh uang panas, seperti dari hasil pencucian uang atau sumbangan pengusaha hitam. Sebab, keadaan ini akan membuat kandidat yang mengiklankan diri itu, jika terpilih, akan lebih mengabdi kepada kepentingan pengusaha hitam yang menyumbangnya dibandingkan dengan rakyat.

Ironisnya, data minimal tentang sumber dana untuk iklan dan berapa besarnya ini masih termasuk data yang sulit dicari.

Jika yang minimal saja sulit, bagaimana lainnya?

Tidak ada komentar: