Selasa, 06 Januari 2009

Pemilu 2009, Menjanjikan tetapi Mencemaskan

J KRISTIADI

Pemilu 2009 sejak semula dirancang untuk mencapai beberapa tujuan sekaligus. Pertama, menciptakan sistem pemerintahan yang kompatibel dengan sistem kepartaian sehingga dapat mewujudkan pemerintahan yang efektif. Kedua, meningkatkan kualitas partai politik sebagai institusi penopang demokrasi. Ketiga, meningkatkan kinerja lembaga perwakilan rakyat, dan terakhir, menyertakan keterlibatan 30 persen perempuan dalam lembaga perwakilan rakyat.

Setelah Undang-Undang Politik disahkan, kecuali Rancangan Undang-Undang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, DPD, dan DPRD, beberapa tujuan yang ingin dicapai mulai memberikan gambaran yang tak terlalu buruk. Paling spektakuler adalah kesepakatan untuk menyertakan perempuan sebanyak 30 persen dalam lembaga perwakilan. Namun, yang patut disayangkan, tujuan untuk meningkatkan kualitas parpol dengan menciptakan sistem multipartai terbatas masih belum dapat diraih karena kompromi kepentingan sempit partai politik.

Salah satu aspek yang dianggap menjadi nilai lebih Pemilu 2009 adalah keputusan Mahkamah Konstitusi yang menetapkan calon anggota legislatif (caleg) suara terbanyak yang berhak mendapatkan kursi di parlemen. Keputusan itu memorakporandakan oligarki dan dinasti politik partai. Gagasan itu cukup lama menjadi topik diskusi publik yang hangat serta mendapatkan dukungan dari masyarakat. Meski gagal dituangkan dalam UU Pemilu, ide itu dengan alasan pragmatis diadopsi Partai Golkar yang dalam proses pembahasan UU menolak habis-habisan.

Namun, karena menghadapi kenyataan mesin organisasi tak efektif, pilihannya adalah menggerakkan mesin partai melalui kadernya yang menjadi caleg. Partai Golkar berubah kiblatnya. Tentu kelompok lain sangat menyayangkan keputusan itu, terutama parpol yang memberikan privilese kader partai yang dianggap andal atau yang dekat dengan pimpinan, sehingga mendapatkan nomor kecil, menjadi berantakan. Namun yang lebih mahal harganya adalah ongkos yang harus dibayar kelompok perempuan. Affirmative action yang dimaksudkan untuk menghasilkan proporsi 30 persen perempuan agar kebijakan publik tidak bias jender juga menjadi kacau-balau.

Akan tetapi, hal itu tidak dapat dihindari mengingat dari beberapa tujuan pemilu, secara inheren sering kali tujuan yang satu bisa bahkan bertentangan dengan tujuan yang lain. Misalnya, tujuan untuk mendapatkan anggota parlemen yang akuntabel dengan sistem suara terbanyak tidak sejalan dengan tujuan mendisiplinkan kader partai. Karena itu, politik adalah pilihan, prioritas, dan agenda sehingga tak semua dapat dicapai sekaligus dalam waktu yang bersamaan. Mengenai agenda kuota perempuan, mungkin gagasan yang menyarankan agar caleg perempuan tidak diikutsertakan dalam ketentuan suara terbanyak dapat dipertimbangkan.

Dalam perspektif ini dapat dikatakan mesin demokrasi berjalan. Berbagai kepentingan politik subyektif, kelompok, golongan, bahkan yang saling bertentangan secara diametral, selain dapat menghasilkan kompromi yang positif, dapat pula merelatifkan sesuatu yang dianggap mutlak atau berlebihan.

Iklan politik yang gencar dilakukan parpol dan mulai dianggap mengancam kepentingan partai lain menimbulkan reaksi balik lawan politiknya untuk meredakan laju popularitas partai itu. Misalnya, iklan tokoh sentral Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra) yang dianggap mulai mendominasi publik, dilawan dengan menghidupkan kembali Panitia Khusus DPR terkait penghilangan paksa yang oleh Partai Gerindra dianggap sekadar rekayasa untuk menjatuhkan tokoh sentralnya.

Demikian pula Partai Gerindra menganggap tanggapan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam putusan pengadilan almarhum Munir sebagai manuver politik untuk mencegah semakin meningkatnya popularitas partai itu.

Meragukan KPU

Dinamika politik yang memberikan harapan bagi Pemilu 2009 terancam oleh kinerja Komisi Pemilihan Umum (KPU). Ancaman itu tidak boleh dianggap sepele karena pertaruhannya adalah masa depan politik Indonesia. Banyak kalangan meragukan KPU mempunyai kapasitas untuk menyelenggarakan Pemilu 2009 sebagaimana dilakukan KPU sebelumnya.

Dalam menangani berbagai masalah, kelihatan KPU sangat lamban dan memberikan kesan tidak profesional serta tidak tahu persis apa yang mau dilakukan. Misalnya, mengenai tindak lanjut keputusan MK tentang sistem pemilihan caleg terpilih berdasarkan suara terbanyak, mereka seakan-akan cuci tangan serta lebih menyandarkan atau menyerah kepada pemerintah dengan mengharapkan terbitnya peraturan pemerintah pengganti undang-undang. Tak ada kesan mereka secara gigih dan cerdas sebagai lembaga independen dan terhormat mencari jalan keluar sendiri secara kreatif.

Oleh karena itu, tak berlebihan komentar Bachtiar Effendi yang menyatakan, ketidaksiapan KPU, kesalahannya telah terjadi sejak proses pemilihannya (Kompas, 5/1). Tentu banyak kalangan masih ingat kontroversi perekrutan anggota KPU yang dianggap cacat karena melanggar UU No 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggaraan Pemilu karena mengabaikan ketentuan tentang rekam jejak para calon. Bahkan, terdengar isu miring proses pemilihan anggota KPU sangat diwarnai kepentingan dan ambisi politik perorangan yang mencoba ingin mengendalikan KPU.

Terlepas dari kinerja KPU yang diragukan banyak kalangan, bagaimanapun pemilu adalah hajatan rakyat. Karena itu, Pemilu 2009 yang cukup menjanjikan harus diselamatkan. Semua pihak diharapkan ikut ambil bagian untuk menyelamatkan karya bangsa dalam membangun sivilisasi politik baru. Pemerintah, dalam hal ini presiden, sebagai penanggung jawab penyelenggaraan pemilu, tanpa mengintervensi independensi KPU, dalam batas-batas tanggung jawab dan kewenangannya, dapat mengambil bagian untuk ikut menyelamatkan Pemilu 2009.

Sementara itu, parpol diharapkan tidak hanya melakukan kampanye murahan. Mereka diharapkan melakukan kampanye yang lebih berkualitas dengan memfokuskan pada pendidikan politik rakyat. Dengan demikian, Pemilu 2009 akan mengukuhkan tonggak dan melembagakan proses bangsa Indonesia mewujudkan kedaulatan rakyat.

Tidak ada komentar: