Rabu, 28 Januari 2009

Hasil Pemilu 2004 Jawa Tengah


JATENG I-Kab. Semarang, Kab. Kendal, Kota Salatiga, Kota Semarang


Partai Suara %
PDI Perjuangan 477.808 25.52%
Partai Golkar 278.472 14.87%
Partai Kebangkitan Bangsa 243.241 12.99%
Partai Demokrat 224.138 11.97%
Partai Persatuan Pembangunan 152.137 8.12%
Partai Amanat Nasional 130.887 6.99%
Partai Keadilan Sejahtera 119.672 6.39%

JATENG II- Kab. Kudus, Kab. Jepara, Kab. Demak

Partai Suara %
PDI Perjuangan 308.338 20.63%
Partai Persatuan Pembangunan 303.843 20.33%
Partai Kebangkitan Bangsa 288.518 19.31%
Partai Golkar 144.928 9.70%
Partai Demokrat 109.575 7.33%
Partai Amanat Nasional 70.210 4.70%
Partai Keadilan Sejahtera 67.069 4.49%

JATENG III-Kab. Grobogan, Kab. Blora, Kab. Rembang

Partai Suara %
PDI Perjuangan 660.810 31.90%
Partai Golkar 345.373 16.30%
Partai Kebangkitan Bangsa 334.303 15.78%
Partai Persatuan Pembangunan 181.339 8.56%
Partai Demokrat 129.182 6.10%
Partai Amanat Nasional 64.574 3.05%
Partai Keadilan Sejahtera 57.737 2.73%

JATENG IV-Kab. Wonogiri, Kab. Karanganyar, Kab. Sragen

Partai Suara %
PDI Perjuangan 649.783 41.78%
Partai Golkar 318.286 20.47%
Partai Amanat Nasional 101.781 6.54%
Partai Demokrat 101.523 6.53%
Partai Keadilan Sejahtera 100.917 6.49%
Partai Karya Peduli Bangsa 41.447 2.67%
Partai Kebangkitan Bangsa 40.175 2.58%

JATENG V-Kab. Boyolali, Kab. Klaten, Kab. Sukoharjo, Kota Surakarta

Partai Suara %
PDI Perjuangan 676.316 34.22%
Partai Golkar 316.046 15.99%
Partai Amanat Nasional 300.843 15.22%
Partai Keadilan Sejahtera 130.200 6.59%
Partai Demokrat 128.159 6.49%
Partai Kebangkitan Bangsa 103.969 5.26%
Partai Persatuan Pembangunan 98.808 5.00%

JATENG VI-Kab. Purworejo, Kab. Wonosobo, Kab. Magelang, Kab. Temanggung, Kota Magelang

Partai Suara %
PDI Perjuangan 465.509 23.25%
Partai Kebangkitan Bangsa 407.105 20.33%
Partai Golkar 301.989 15.08%
Partai Persatuan Pembangunan 240.645 12.02%
Partai Amanat Nasional 175.275 8.75%
Partai Demokrat 137.227 6.85%
Partai Keadilan Sejahtera 86.163 4.30%

JATENG VII-Kab. Purbalingga, Kab. Banjarnegara, Kab. Kebumen

Partai Suara %
PDI Perjuangan 496.038 32.02%
Partai Golkar 287.179 18.54%
Partai Kebangkitan Bangsa 197.842 12.77%
Partai Amanat Nasional 141.613 9.14%
Partai Persatuan Pembangunan 127.129 8.21%
Partai Demokrat 79.342 5.12%
Partai Keadilan Sejahtera 63.019 4.07%

JATENG VIII- Kab. Cilacap, Kab. Banyumas

Partai Suara %
PDI Perjuangan 612.704 35.01%
Partai Golkar 354.559 20.26%
Partai Kebangkitan Bangsa 220.517 12.60%
Partai Amanat Nasional 127.427 7.28%
Partai Demokrat 112.896 6.45%
Partai Persatuan Pembangunan 100.023 5.72%
Partai Keadilan Sejahtera 64.878 3.71%

JATENG IX-Kab. Tegal, Kab. Brebes, Kota Tegal

Partai Suara %
PDI Perjuangan 464.011 27.07%
Partai Kebangkitan Bangsa 412.873 24.09%
Partai Golkar 236.827 13.82%
Partai Amanat Nasional 130.747 7.63%
Partai Persatuan Pembangunan 123.745 7.22%
Partai Keadilan Sejahtera 95.422 5.57%
Partai Demokrat 84.109 4.91%


JATENG X-Kab. Batang, Kab. Pekalongan, Kab. Pemalang, Kota Pekalongan

Partai Suara %
PDI Perjuangan 434.562 27.17%
Partai Kebangkitan Bangsa 329.698 20.62%
Partai Persatuan Pembangunan 227.636 14.23%
Partai Golkar 220.332 13.78%
Partai Amanat Nasional 108.672 6.80%
Partai Demokrat 73.747 4.61%
Partai Keadilan Sejahtera 54.273 3.39%

Pemilu Kian Membebani Anggaran Negara


Didik Supriyanto - detikPemilu

Jakarta - Pemilu 2009 diperkirakan akan menyedot dana negara sampai Rp 22 triliun. Anggapan bahwa demokrasi memang mahal, membuat kita malas itu membikin pemilu efisien.

Banyak kalangan mengeluhkan, biaya pemilu sangat mahal. Lebih-lebih jika dihitung dalam durasi lima tahunan, termasuk pilkada. Lihatlah Pilkada Jawa Timur yang berlangsung dua putaran plus ulangan di beberapa kabupaten/kota.

Namun sejumlah pengamat tetap bersiteguh bahwa pemilu kita masih murah. Oleh karena itu tidak perlu merisaukan masalah anggaran. "Demokrasi memang mahal," demikian kata para pengamat pemilu, yang didukung oleh sejumlah elit politik.

Kesimpulan bahwa pemilu kita masih murah memang bukan tanpa dasar. Hal ini tampak bila dibandingkan dengan biaya pemilu per pemilih pada skala dunia, sebagaimana dikumpulkan oleh UNDP.

UNDP menghitung biaya Pemilu 2004 hanya US 1,5 dollar per pemilih. Lebih murah dibandingkan negara-negara maju dan beberapa negara berkembang di Amerika Latin, dan Asia. Namun angka itu masih lebih mahal dari India dan beberapa negara Afrika.

Sesungguhnya angka tersebut kurang akurat, karena US$ 1,5 dollar dihitung berdasarkan anggaran APBN. Padahal Pemilu 2004 juga menyedot APBD di setiap daerah yang tidak sedikit. Plus biaya pilkada bupati/walikota dan gubernur, maka biaya pemilu kita setiap lima tahun bisa dua kali lipat dari angka UNDP tersebut.

Mengapa pemilu kita mahal?

Pertama, dari segi sistem. Sistem pemilu kita memang hasil 'kreativitas' yang luar biasa sehingga efek pendanaannya pun juga luar biasa. Sistem proporsional tertutup jelas lebih murah, karena surat suara hanya berisi gambar partai. Nah, karena sistem ini denggap buruk (prasangka tanpa membandingkan kenyataan di tempat lain), maka sejak Pemilu 2004 diubah menjadi sistem proporsional terbuka.

Implikasinya surat suara harus memuat nama calon, sehingga ukuran surat suara lebar. Apalagi daerah pemilihan kursinya besar, sehingga di beberapa daerah surat suara tak hanya selebar koran, tetapi juga lebih dari satu halaman. Tujuan sistem poporsional terbuka untuk meningkatkan akuntabilitas calon terpilih pun tak tercapai, karena calon terpilih harus menghadapi konsituen yang demikian luas wilayahnya.

Kedua, dari segi waktu penyelenggaraan. Pemilu yang menyerentakkan pemilihan anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota jelas membutuhkan dana yang berlipat-lipat dalam satu momen pemilu. Dengan melihat luas wilayah dan kondisi geografis Indonesia, empat pemilu legislatif yang serentak jelas memasuki wilayah "unmanageable".

Dana berlipat tersedot dalam satu momen, sehingga dari segi pengaturan anggaran negara juga merepotkan. Di sisi lain, penyelenggara pilpres dan pilkada yang berlainan waktunya, menambah nyata, betapa bangsa ini seperti "tidak cerdas" mengatur anggaran negara. Jadi, setiap lima tahun sekali, ada satu waktu (pemilu legislatif) segenap tenaga dan pikiran dikerahkan habis untuk sukses pemilu, di waktu yang lan pilpres dan pilkada dibiarkan berjalan berserakan sehingga kontrol penggunaan anggaran pun rendah.

Ketiga, meski sejak Pemilu 1999 KPU ditetapkan selaku penyelenggara 'tunggal' pemilu, namun dalam praktek, banyak sekali instansi pemerintah yang ikutan ngurus proyek pemilu, seperti Depdagri, Kominfo, Polri, dan lain-lain. Kalau anggara pemilu yang tersebar di banyak instansi itu disatukan dengan anggaran KPU, semakin jelas betapa banyak uang rakyat dihamburkan untuk proyek pemilu.

Di sisi lain, struktur organisasi penyelenggara pemilu juga kian tidak efisien. Bawaslu dan pengawas pemilu yang tidak punya peran apa-apa, kecuali teriak di koran ada pelanggaran, menambah beban anggaran yang kian banyak, karena di pusat bersifat permanen, sementara di bawah strukturnya sampai desa.

Keempat, persepsi yang salah tentang pemilu dan demokrasi. Selama ini muncul anggapan di kalangan pengamat, pemantau dan elit politik, bahwa demokrasi itu mahal. Oleh karena itu, berapa pun besarnya anggaran pemilu, demi demokrasi harus dikeluarkan.

Mungkin karena para pengamat, pemantau dan elit politik itu tidak pernah merasakan betapa sulitnya mengumpulkan uang negara, maka mereka tidak memperhatikan masalah efisiensi penyelenggaraan pemilu. Bahkan gagasan efisiensi selalu dibenturkan dengan sikap antidemokrasi.

*) Didik Supriyanto, Ketua Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem).
( diks / nrl )

Sabtu, 24 Januari 2009

Demokratisasi


Biaya Pilkada Berlebihan

Jakarta, Kompas - Pengamat politik dari Universitas Airlangga, Surabaya, Daniel Sparringa, menilai, biaya demokrasi di Indonesia sangat mahal, bahkan cenderung tidak masuk akal. Diperlukan langkah politik yang radikal untuk membuat sistem politik lebih rasional dan efisien.

”Biaya lebih dari Rp 800 miliar untuk menyelenggarakan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Jawa Timur sungguh berlebihan. Jika terus dibiarkan terjadi, hal itu justru membahayakan demokrasi karena akan memunculkan gelembung demokrasi, realitas demokrasi yang semu,” katanya, Jumat (23/1) di Jakarta.

Secara terpisah, Rois Syuriah Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) Jatim KH Miftachul Akhyar, Ketua Tanfidziyah PWNU Jatim KH Mutawakkil Alallah, Ketua PW Muhammadiyah Jatim Syafiq Mughni, dan Ketua Muslimat NU Jatim Masruroh Wahid, Jumat, juga menilai, Pilkada Jatim yang menghabiskan biaya lebih dari Rp 830 miliar terlalu mahal. Jumlah ini setara dengan seperlima Pendapatan Asli Daerah Jatim dalam setahun. Karena itu, semestinya pemungutan suara ulang di Bangkalan dan Sampang serta penghitungan suara ulang di Pamekasan adalah tahapan terakhir Pilkada Jatim.

”Pilkada Jatim terlalu mahal. Lebih baik anggaran digunakan untuk kepentingan kesejahteraan masyarakat yang riil, apalagi sekarang banyak pemutusan hubungan kerja dan menghadapi tahun ajaran baru,” tutur Syafiq.

Masruroh juga menilai, dana dan energi yang dikeluarkan warga Jatim untuk pilkada amat banyak. Karena itu, semua pihak harus arif dan tak memperpanjang Pilkada Jatim.

Litbang Kompas mencatat, Pilkada Jatim adalah yang termahal. Pilkada DKI Jakarta Agustus 2007 menghabiskan dana Rp 194 miliar. Pilkada di Jawa Barat dan Jawa Tengah juga menelan biaya kurang dari Rp 500 miliar.

Arief Budiman, anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) Jatim, menjelaskan, pada putaran pertama pilkada, KPU diberi dana Rp 425 miliar. Selain untuk KPU, Pemerintah Provinsi Jatim juga menyediakan dana untuk instansi lain. Putaran kedua menghabiskan biaya Rp 265 miliar. Adapun pada penghitungan ulang di Pamekasan dianggarkan Rp 3,3 miliar. Pemungutan suara ulang di Bangkalan dan Sampang membutuhkan Rp 15,5 miliar, termasuk biaya pengamanan.

Pikirkan kembali

Menurut Daniel, pilkada provinsi secara langsung layak dipikirkan kembali. Dengan titik berat otonomi daerah di kota/kabupaten, gubernur hanya sebagai wakil pemerintah pusat sehingga masuk akal jika mereka dipilih pemerintah pusat. Calonnya dapat dikirim oleh DPRD provinsi.

”Bahkan, keberadaan DPRD provinsi serta dinas di provinsi dapat dipertimbangkan. Sebagai wakil pemerintah pusat, kantor gubernur cukup seperti kantor residen. Ini akan menciptakan penghematan yang besar sekali,” papar Daniel.

Ketua Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi Didik Supriyanto, secara terpisah di Jakarta, Jumat, juga menilai, keluhan soal biaya pemilu, termasuk pilkada yang mahal, sudah saatnya diakhiri. Salah satunya adalah secara serius menggagas pelaksanaan pemilu secara serentak. Waktu penyelenggaraan pemilu bisa disederhanakan, yaitu cukup sekali pemilu nasional dan sekali pemilu lokal dalam masa lima tahun.

Menurut Didik, pemilu nasional dilaksanakan untuk memilih anggota DPR, DPD, dan presiden-wakil presiden. Pemilu lokal untuk memilih anggota DPRD provinsi dan kabupaten/kota, gubernur, dan bupati/wali kota.

Penyederhanaan itu membuat penyelenggaraan pemilu yang lebih tertata, sesuai dengan kemampuan sumber daya manusia dan anggaran. ”Yang lebih penting, adanya pemilu lokal dan pemilu nasional menjadikan peluang membentuk pemerintahan efektif jauh lebih besar. Pada saat yang sama, keterwakilan politik tidak terganggu,” kata Didik.

Ia juga menilai, ada persepsi yang salah tentang pemilu dan demokrasi. Selama ini selalu dimunculkan bahwa demokrasi itu mahal sehingga berapa pun anggarannya mesti dikeluarkan. Pemikiran itu adalah kekonyolan belaka. (nwo/dik/nik/raz/ina)

Kamis, 22 Januari 2009

Putusan MK Tidak Bisa Jadi Dasar KPU


Didik Supriyanto - detikPemilu




Jakarta - Masih banyak pengamat dan elit partai yang meminta Komisi Pemilihan Umum (KPU) agar langsung menindaklanjuti putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang memenangkan suara terbanyak dalam penetapan calon terpilih. Artinya, KPU tidak perlu menunggu UU atau Perpu yang mengadopsi putusan MK tersebut.

Sekali lagi, saya hendak mengingatkan, bahwa putusan MK tidak bisa langsung dijadikan dasar pijakan KPU untuk membuat peraturan atau keputusan. Putusan itu harus diadopsi terlebih dahulu dalam bentuk UU atau Perpu. Berdasarkan UU atau Perpu inilah KPU baru bisa bertindak.

Yang saya maksud dengan peraturan adalah peraturan KPU tentang tata cara penetapan calon terpilih; kuputusan adalah keputusan KPU atau KPU Provinsi atau KPU Kabupaten/Kota tentang penetapan calon terpilih pada tiap-tiap partai yang meraih kursi.

Mengapa putusan MK tidak bisa dijadikan dasar buat KPU untuk bertindak, baik dalam bentuk peraturan maupun keputusan?

Pertama, putusan MK bukanlah dasar hukum. Dalam UU Nomor 10/2004 yang mengatur tentang jenis dan hirarki peraturan perundang-undangan, tidak disebutkan putusan MK sebagai dasar hukum. Juga tidak ada undang-undang lain yang menyebutkan demikian, termasuk UU Nomor 24/2003 tentang MK.

Memang, putusan MK bisa menjadi sumber hukum atau pertimbangan hukum, namun dia bukanlah dasar hukum. Oleh karena itu, agar putusan MK itu bisa dijalankan, maka harus diadopsi dalam UU atau Perpu.

UU atau Perpu inilah yang selanjutnya jadi dasar pijakan KPU untuk bertindak. Selama tidak ada UU atau Perpu yang mengadopsi putusan MK tentang suara terbanyak, selama itu pula penetapan calon terpilih tetap menggunakan ketentuan lama sebagaimana diatur oleh Pasal 214 UU Nomor 10/2008.

Jika KPU atau KPU daerah berani bertindak tanpa UU atau Perpu, maka mereka harus menanggung risiko peraturan atau keputusannya akan digugat ke MA. Dan dalam beberapa perkara, sikap MA jelas: menolak penggunaan putusan MK sebagai dasar bertindak.

Kedua, putusan MK memenangkan suara terbanyak, sesungguhnya belum jelas dan belum operasional. Apa yang dimaksud dengan suara terbanyak? Mayoritas (50% lebih satu) atau pluralitas (yang mendapat paling banyak, meski total suara yang lain lebih dari 50%)?

Bagaimana jika suara partai mencapai lebih dari 50% total suara calon? Pantaskah calon yang meraih kurang dari 5% suara tapi suaranya terbanyak di antara calon, karena hampir semua suara tersedot ke partai, mendapatkan kursi? Bukankah partai telah memprioritaskan calon terpilihnya pada calon nomor urut satu.

Bagaimana jika tidak ada satu calon pun yang meraih suara, sementara partai tersebut mendapatkan kursi? Kursi itu harus diberikan kepada siapa? Bagaimana jika ada calon yang suaranya sama?

Bagaimana menghubungkan pasal affirmative action (kuota keterwakilan 30% perempuan dalam pencalonan) dengan calon terpilih? Masih banyak hal yang harus diperjelas, agar peraturan atau keputusan KPU mempunyai kepastian hukum.

Karena ini menyangkut substansi pengaturan tentang calon terpilih, maka KPU tidak bisa serta merta membuat peraturan teknisnya. Jadi, KPU harus menunggu UU atau Perpu mengadopsi putusan MK, baru kemudian dia bisa bertindak.

KPU bisa saja nekat bikin peraturan teknis tata cara penetapan calon terpilih tanpa didasari UU atau Perpu. Tapi dia harus bersiap menghadapi gugatan di MA. Sekali lagi, sikap MA selama ini jelas: putusan MK tidak bisa dijadikan dasar hukum. Bayangkan jika gugatan itu kelak dimenangkan MA. ( diks / iy )

Rabu, 21 Januari 2009

Daftar Dapil Pemilu 2009

No. Provinsi Nama Daerah Pemilihan
Jumlah Kursi
Situs KPU Provinsi
1.
Nanggroe Aceh Darussalam Nanggroe Aceh Darussalam I
7
SITUS KOMISI PEMILIHAN UMUM


Nanggroe Aceh Darussalam II
6
2.
Sumatera Utara Sumatera Utara I
10
SITUS KOMISI PEMILIHAN UMUM


Sumatera Utara II
10


Sumatera Utara III
10
3.
Sumatera Barat Sumatera Barat I
8
SITUS KOMISI PEMILIHAN UMUM


Sumatera Barat II
6
4.
Riau Riau I
6
SITUS KOMISI PEMILIHAN UMUM


Riau II
5
5.
Kepulauan Riau Kepulauan Riau
3
SITUS KOMISI PEMILIHAN UMUM
6.
Jambi Jambi
7
SITUS KOMISI PEMILIHAN UMUM
7.
Sumatera Selatan Sumatera Selatan I
8
SITUS KOMISI PEMILIHAN UMUM


Sumatera Selatan II
9
8.
Bangka Belitung Bangka Belitung
3
SITUS KOMISI PEMILIHAN UMUM
9.
Bengkulu Bengkulu
4
SITUS KOMISI PEMILIHAN UMUM
10.
Lampung Lampung I
9
SITUS KOMISI PEMILIHAN UMUM


Lampung II
9
11.
DKI Jakarta DKI Jakarta I
6
SITUS KOMISI PEMILIHAN UMUM


DKI Jakarta II
7


DKI Jakarta III
8
12.
Jawa Barat Jawa Barat I
7
SITUS KOMISI PEMILIHAN UMUM


Jawa Barat II
10


Jawa Barat III
9


Jawa Barat IV
6


Jawa Barat V
9


Jawa Barat VI
6


Jawa Barat VII
10


Jawa Barat VIII
9


Jawa Barat IX
8


Jawa Barat X
7


Jawa Barat XI
10
13.
Banten Banten I
6
SITUS KOMISI PEMILIHAN UMUM


Banten II
6


Banten III
10
14.
Jawa Tengah Jawa Tengah I
8
SITUS KOMISI PEMILIHAN UMUM


Jawa Tengah II
7


Jawa Tengah III
9


Jawa Tengah IV
7


Jawa Tengah V
8


Jawa Tengah VI
8


Jawa Tengah VII
7


Jawa Tengah VIII
8


Jawa Tengah IX
8


Jawa Tengah X
7
15.
Daerah Istimewa Yogyakarta Daerah Istimewa Yogyakarta
8
SITUS KOMISI PEMILIHAN UMUM
16.
Jawa Timur Jawa Timur I
10
SITUS KOMISI PEMILIHAN UMUM


Jawa Timur II
7


Jawa Timur III
7


Jawa Timur IV
8


Jawa Timur V
8


Jawa Timur VI
9


Jawa Timur VII
8


Jawa Timur VIII
10


Jawa Timur IX
6


Jawa Timur X
6


Jawa Timur XI
8
17.
Bali Bali
9
SITUS KOMISI PEMILIHAN UMUM
18.
Nusa Tenggara Barat Nusa Tenggara Barat
10
SITUS KOMISI PEMILIHAN UMUM
19.
Nusa Tenggara Timur Nusa Tenggara Timur I
6
SITUS KOMISI PEMILIHAN UMUM


Nusa Tenggara Timur II
7
20.
Kalimantan Barat Kalimantan Barat
10
SITUS KOMISI PEMILIHAN UMUM
21.
Kalimantan Tengah Kalimantan Tengah
6
SITUS KOMISI PEMILIHAN UMUM
22.
Kalimantan Selatan Kalimantan Selatan I
6
SITUS KOMISI PEMILIHAN UMUM


Kalimantan Selatan II
5
23.
Kalimantan Timur Kalimantan Timur
8
SITUS KOMISI PEMILIHAN UMUM
24.
Sulawesi Utara Sulawesi Utara
6
SITUS KOMISI PEMILIHAN UMUM
25.
Gorontalo Gorontalo
3
SITUS KOMISI PEMILIHAN UMUM
26.
Sulawesi Tengah Sulawesi Tengah
6
SITUS KOMISI PEMILIHAN UMUM
27.
Sulawesi Selatan Sulawesi Selatan I
8
SITUS KOMISI PEMILIHAN UMUM


Sulawesi Selatan II
9


Sulawesi Selatan III
7
28.
Sulawesi Tenggara Sulawesi Tenggara
5
SITUS KOMISI PEMILIHAN UMUM
29.
Sulawesi Barat Sulawesi Barat
3
SITUS KOMISI PEMILIHAN UMUM
30.
Maluku Maluku
4
SITUS KOMISI PEMILIHAN UMUM
31.
Maluku Utara Maluku Utara
3
SITUS KOMISI PEMILIHAN UMUM
32.
Papua Papua
10
SITUS KOMISI PEMILIHAN UMUM
33.
Papua Barat Papua Barat
3
SITUS KOMISI PEMILIHAN UMUM

Cara Penghitungan Pemilu 2009

I. PENDAHULUAN

Penentuan perolehan Kursi DPR untuk Pemilu 2009 berbeda dengan Pemilu 2004, hal ini disebabkan adanya ketentuan Parliament Threshold (PT). Pada Pemilu 2009, parpol yang mendapatkan kursi DPR RI adalah parpol yang memperoleh PT sebesar 2,5 %; yakni perolehan suara sah parpol tersebut, minimal mencapai 2,5 persen dari total suara sah pemilih.

Misalkan saja jumlah keseluruhan suara sah pemilih pada pemilu 2009 adalah 100 juta suara. Bila suatu Parpol tidak mencapai perolehan suara minimal 2,5 juta suara (suara nasional), maka parpol tersebut tidak akan memperoleh kursi DPR untuk daerah pemilihan (dapil) manapun. Karena memang parpol tersebut tidak akan dilibatkan lagi dalam penghitungan kursi DPR.

Uraian diatas, jelas diatur dalam UU No. 10 Tahun 2008 tentang Pemilu DPR, DPD, DPRD, bunyinya sebagai berikut (underline oleh penulis) :

Pasal 202

Partai Politik Peserta Pemilu harus memenuhi ambang batas perolehan suara sekurang-kurangnya 2,5% (dua koma lima perseratus) dari jumlah suara sah secara nasional untuk diikutkan dalam penentuan perolehan kursi DPR.

Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku dalam penentuan perolehan kursi DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/kota

Pasal 203

Partai Politik Peserta Pemilu yang tidak memenuhi ambang batas perolehan suara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 202 ayat (1), tidak disertakan pada penghitungan perolehan kursi DPR di masing-masing daerah pemilihan.

Suara untuk penghitungan perolehan kursi DPR di suatu daerah pemilihan ialah jumlah suara sah seluruh Partai Politik Peserta Pemilu dikurangi jumlah suara sah Partai Politik Peserta Pemilu yang tidak memenuhi ambang batas perolehan suara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 202 ayat (1).

Dari hasil penghitungan suara sah yang diperoleh partai politik peserta pemilu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) di suatu daerah pemilihan ditetapkan angka BPP DPR dengan cara membagi jumlah suara sah Partai Politik Peserta Pemilu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dengan jumlah kursi di satu daerah pemilihan.

II. PENGHITUNGAN KURSI DPR

Untuk Penghitungan kursi DPR, sebagaimana diatur dalam Pasal 203 ayat 2 & 3 diatas, maka dilakukan inventarisasi 34 parpol peserta Pemilu 2009, yakni parpol yang memenuhi PT (kita sebut : Parpol PT), dan parpol yang tidak memenuhi PT (Parpol Non PT). Dari hasil inventarisasi ini maka didapatlah penentuan BPP disuatu dapil.

Adapun tahapan menuju penentuan BPP disuatu dapil adalah sebagai berikut :

1. Penentuan Suara Sah

Suara sah adalah suara sah Parpol PT dikurangi Parpol Non PT.

Misalnya diperoleh sejumlah x suara, maka x suara tersebutlah yang disebut sebagai Suara Sah Partai Politik Peserta Pemilu

2. Penentuan BPP

BPP didapat dengan membagi Suara Sah Partai Politik Peserta Pemilu dengan jumlah kursi di suatu dapil. Misal untuk dapil Jabar I (meliputi TPS se Kota Bandung & Kota Cimahi) ditetapkan kuota 7 Kursi DPR (lampiran UU Pemilu), maka BPP di Jabar I adalah x/7.

3. Setelah angka BPP disuatu dapil diperoleh, maka selanjutnya ditentukan jumlah kursi yang didapat oleh masing-masing Parpol PT didapil tersebut.

III. PENETAPAN PEROLEHAN KURSI DPR

Penetapan perolehan kursi DPR diatur dalam Pasal 206, Pasal 207, Pasal 208, Pasal 209 , Pasal 210, dan Pasal 211. Penetapan perolehan kursi tersebut terdiri atas beberapa tahap (bila masih terdapat sisa kursi), yakni :

Tahap I (pasal 207 ayat 3)

Dengan membagi jumlah suara sah yang diperoleh suatu Partai Politik Peserta Pemilu di suatu daerah pemilihan dengan BPP

Tahap II (pasal 207 ayat 4)

Dengan cara membagikan jumlah sisa kursi yang belum terbagi kepada Partai Politik Peserta Pemilu yang memperoleh suara sekurang kurangnya 50% (lima puluh perseratus) dari BPP.

Tahap III (pasal 207 ayat 5)

Dengan cara seluruh sisa suara Partai Politik Peserta Pemilu dikumpulkan di provinsi untuk menentukan BPP baru.

Tahap IV (pasal 20)

dengan cara membagikan jumlah sisa kursi kepada Partai Politik Peserta Pemilu yang memiliki sisa suara terbanyak di provinsi satu demi satu berturut-turut sampai habis.

Tahap V (pasal 209)

Dalam hal masih terdapat sisa kursi yang belum terbagi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 208 dan sisa suara partai politik peserta pemilu sudah terkonversi menjadi kursi, maka kursi diberikan kepada partai politik yang mempunyai akumulasi perolehan suara terbanyak secara berturut-turut di provinsi yang bersangkutan

NB : Tahapan sebagaimana Poin c,d, dan e hanya dialokasikan kepada daerah pemilihan yang masih memiliki sisa kursi.

IV. PENETAPAN CALON TERPILIH

Selanjutnya ditentukan Daftar Caleg (Partai PT). Adapun calon legislatif (caleg) yang terpilih dalam suatu parpol adalah calon yang memenuhi BPP, atau yang memenuhi 30 % dari BPP, dengan ketentuan (Pasal 214 ayat 1) sebagai berikut :

a. Calon terpilih adalah calon yang memperoleh suara sekurang-kurangnya 30% BPP (misal kita sebut : caleg 30%)

b. Bila jumlah caleg 30% lebih banyak dari jumlah kursi yang diperoleh parpol tersebut, maka kursi diberikan kepada calon yang memiliki nomor urut lebih kecil

c. Bila terdapat dua caleg 30% BPP,dengan perolehan suara yang sama, maka calon terpilih diberikan kepada calon yang memiliki nomor urut lebih kecil

d. Bila caleg 30% jumlahnya kurang dari jumlah kursi yang diperoleh parpol, maka kursi yang belum terbagi diberikan kepada calon berdasarkan nomor urut

e. Dalam hal tidak ada calon yang memperoleh suara sekurang-kurangnya 30% BPP (kita sebut : parpol non caleg 30%), maka calon terpilih ditetapkan berdasarkan nomor urut

V. SIMULASI PENGHITUNGAN PEROLEHAN KURSI DAN CALEG TERPILIH

Berdasarkan uraian diatas sekarang akan disimulasikan cara perolehan kursi DPR dan Caleg Terpilih suatu Parpol. Simulasi ini bertujuan untuk memahami bagaimana penetapan BPP, bagaimana perolehan kursi suatu parpol serta bagaimana penetapan caleg terpilih dari parpol tersebut.

DATA DALAM SIMULASI INI MENGGUNAKAN PARPOL DAN PEROLEHAN SUARA DARI HASIL PEMILU 2004 (DAERAH PEMILIHAN JAWA BARAT I – DAPIL JABAR I).

Untuk mengetahui bagaimana penetapan BPP, bagaimana perolehan kursi suatu parpol serta bagaimana penetapan caleg terpilih dari suatu parpol, maka langkah yang harus dilakukan adalah sebagai berikut :

Inventarisasi parpol PT dan Parpol Non PT secara nasional

Pemilu 2004 terdiri atas 24 parpol, dengan perolehan suara nasional sebagai berikut :

Penghitungan Perolehan Kursi Parpol PT dan caleg terpilih parpol tersebut disuatu dapil

Berikut hasil perolehan suara untuk Dapil Jabar I pada Pemilu 2004 :



Dari data tabel disamping maka terdapat 8 parpol yang memenuhi PT 2,5 %, yaitu Partai Golkar, PDIP, PKB, Demokrat, PKS, PAN, PPP, PBB. Maka siapa yang mengisi kursi DPR (sistem Pemilu 2009) adalah caleg yang berasal dari ke-8 parpol ini saja, sementara 18 parpol lainnya tersisih dari gedung senayan (DPR).

(Menentukan suara sah & BPP di Dapil Jabar I)

Dari data tabel disamping diperoleh jumlah suara Parpol PT sebesar 1.369.009 dan jumlah suara Parpol Non PT sebesar 182.503, maka Suara Sah adalah (jumlah suara Parpol PT – jumlah suara Parpol Non PT) maka diperoleh 1.186.506

BPP adalah jumlah suara sah dibagi dengan jumlah kursi. Sesuai lampiran UU Pemilu 10 tahun 2008 ditentukan untuk Dapil Jabar I jumlah kursi adalah 7, maka BPP Dapil Jabar I adalah 1.186.506 dibagi 7, diperoleh angka BPP sebesar 169.500


JADWAL PEMILU 2009


1. Pengumuman hasil verifikasi KPU
7 Juli 2008

2. Pengundian nomor urut partai politik peserta pemilu 2009
9 Juli 2008

3. Pendeklarasian kampanye damai pemilu 2009
12 Juli 2008

4. Pelaksanaan kampanye pertemuan terbatas (tatap muka, pers, penyebaran bahan)
12 Juli 2008 - 5 April 2009

5. Pengambilan formulir calon
15 Juli - 13 Agustus 2008

6. Pengajuan bakal calon
14 - 19 Agustus 2008

7. Verifikasi administrasi bakal calon
15 Agustus - 7 September 2008

8. Penyampaian hasil verifikasi
16 Agustus - 9 September 2008

9. Perbaikan syarat dan penggantian bakal calon
10 - 16 September 2008

10. Verifikasi hasil perbaikan syarat calon
11 - 19 September 2008

11. Penyusunan dan penetapan Daftar Calon Sementara (DCS)
12 - 26 September 2008

12. Pengumuman dan tanggapan masyarakat atas DCS
26 September - 14 Oktober 2008

13. Penyampaian klarifikasi DCS kepada Parpol
10 - 18 Oktober 2008

14. Pengajuan pengganti DCS oleh Parpol
11 - 22 Oktober 2008

15. Verifikasi pengganti DCS oleh KPU
12 - 25 Oktober 2008

16. Penyusunan dan penetapan Daftar Calon Tetap (DCT)
26 - 30 Oktober 2008

17. Pengumuman DCT
31 Oktober 2008

18. Pelaksanaan kampanye rapat umum
16 Maret 2009 - 5 April 2009

19. Masa tenang
6 - 8 April 2009

20. Pemungutan dan penghitungan suara
9 April 2009

21. Penetapan hasil pemilu
19 April 2009 (KPU Kab/Kota), 24 April 2009 (KPU Provinsi), 9 Mei 2009 (KPU)

22. Pengajuan permohonan pembatalan hasil perolehan suara ke mahkamah konstitusi
10 - 12 Mei 2009

23. Penetapan perolehan kursi
15 - 17 Mei 2009 (DPRD Kab/Kota), 17 - 18 Mei 2009 (DPRD Provinsi), 19 - 20 Mei 2009 (DPR dan DPD)

24. Penetapan dan pengumuman calon terpilih
17 - 18 Mei 2009 (DPRD Kab/Kota), 19 - 20 Mei 2009 (DPRD Provinsi), 21 - 24 Mei 2009 (DPR dan DPD)

25. Pemberitahuan kepada calon terpilih
19 - 24 Mei 2009 (DPRD Kab/Kota), 21 - 28 Mei 2009 (DPRD Provinsi), 25 Mei - 4 Juni 2009 (DPR dan DPD)

26. Peresmian keanggotaan
Juni 2009 (DPRD Kab/Kota), Juli, Agustus 2009 (DPRD Provinsi), September 2009 (DPR dan DPD)

27. Pengucapan sumpah/janji
Juli 2009 (DPRD Kab/Kota), Agustus 2009 (DPRD Provinsi), 1 Oktober 2009 (DPR dan DPD)