Jumat, 26 Desember 2008

Di Balik Kontroversi Survei Politik

ssssssssssssssssssss

Oleh Taufik
Chief Executive MarkPlus Insight dan Executive Director Indonesian Political Marketing Research


Di tengah-tengah pesatnya perkembangan industri riset politik di tanah air, kini mulai muncul banyak pertanyaan tentang (publikasi) hasil survei dan siapa yang melakukan. Pertanyaan-pertanyaan yang muncul dari para pemimpin partai dan anggota masyarakat tampaknya mengilhami KPU untuk mengatur praktek industri ini. Seperti gampang diduga, sejumlah pelaku sudah mencoba menjawab berbagai pertanyaan tersebut. Tapi alih-alih meredakan, jawaban yang sementara ini ada malah memicu pertanyaan lainnya. Lalu bagaimana menjawabnya?

Terus terang sebagai salah satu praktisi yang terlibat di kedua jenis riset tersebut -untuk keterbukaan informasi, di survei pemasaran untuk dunia bisnis lintas industri dan sektor, institusi yang dipakai adalah MarkPlus Insight, sementara di riset politik yang antara lain melakukan survey ke hampir 17 ribu calon pemilih di 77 dapil, institusi yang dipakai adalah Indonesian Political Marketing Research- tidak mudah untuk menjawabnya. Terutama kalau mengingat bahwa tingkat edukasi terhadap riset pemasaran di Indonesia, baik di dunia bisnis dan politik, memang belum tinggi. Sebetulnya, itu bukan hanya fenomena di Indonesia tapi juga di hampir seluruh dunia.

Perlunya Mengkritisi Diri Sendiri

Karena itu, sebagai bagian dari upaya melakukan edukasi pemasaran, organisasi riset pemasaran dan opini publik terbesar di dunia, yang disingkat dalam bahasa Perancis sebagai ESOMAR dengan gencar mempromosikan kode etik dan kode bertindak bukan hanya kepada para anggotanya yang tersebar di lebih seratus negara di dunia tapi juga kepada para pengguna. Maklum kritik atau kesalahpahaman terhadap riset pemasaran juga berkembang seiring dengan perkembangan praktek riset pemasaran.

Namun, sekadar menyatakan punya kode etik tidak akan banyak berarti kalau asosiasi industri tidak membuka diri untuk kritik dan melakukan otokritik. Berdasarkan pengalaman mengikuti kegiatan rutin tahunan ESOMAR baik di tingkat Asia Pasifik dan Dunia menunjukkan bahwa asosiasi ini membuka diri kepada dunia luar, khususnya dunia bisnis yang menjadi pengguna utama. Ini bukan hanya sekadar mengundang sebagai pembicara, tapi bahkan mendorong mereka untuk mengkritik industri pemasaran dan menyaksikan bagaimana industri ini melakukan otokritik di forum-forum asosiasi ini.

Contoh terbaik adalah apa yang terjadi ketika berlangsung konferensi ESOMAR untuk tingkat Asia Pasifik di Kuala Lumpur pada bulan Maret tahun 2007 yang juga dihadiri oleh para pengguna hasil riset, baik dunia bisnis maupun konsultan bisnis. Di konferensi tersebut dua praktisi riset pemasaran asal Australia, John Sergeant dan James Lane, meski menggunakan judul paper dan presentasi,”Research in Popular Culture,” tapi isinya adalah otokritik komprehensif terhadap industri riset pemasaran. Dengan menggunakan contoh-contoh budaya pop, kedua praktisi tersebut mengungkapkan otokritiknya yang mengena satu per satu.

Pertama, riset pemasaran sering digunakan untuk mengambil keputusan yang susah diterima akal sehat. Misalnya, sebuah usaha penemuan ban tertunda gara-gara departemen riset pemasara ingin tahu lebih dahulu warna ban apa yang cocok.

Kedua, riset pemasaran dilihat sebagai dunia yang membosankan, dan begitu juga hasilnya. Dalam dunia sehari-hari ini muncul karena orang riset kaku dan tidak mengikuti perkembangan dan hanya menyajikan angka mati.

Ketiga, riset pemasaran sering digunakan untuk mendapatkan hasil yang menyesatkan. Kedua praktisi mengambil contoh dari serial “Yes Prime Minister” yang diproduksi BBC. Di situ disampaikan bagaimana keputusan untuk perang atau tidak diambil berdasarkan riset yang dibuat sesat. Untuk mendapatkan pendapat yang menentang perang misalnya riset dilakukan terhadap responden wanita saja. Tapi untuk mendapatkan hasil yang mendukung perang survai dlakukan ke responden pria. Ini tentu contoh ekstrim, tapi ini mungkin adalah hal yang memang mesti menjadi pertimbangan utama ketika para pengguna riset pemasaran ingin menggunakan hasil sebuah riset.

Cara menyesatkan pengguna bukan hanya dilakukan melalui responden yang dipilih, tapi bagaimana menentukan hasil sebelum survei dilakukan. Kedua praktisi tersebut mengambil contoh dari sebuah film yang kebetulan tidak begitu laku yang dibintangi Danny de Vito, Rating Game. Di film tersebut digambarkan bagaimana mafia melakukan diversifikasi bisnis dengan mengatur hasil rating televisi yang bisa dijual ke biro iklan. Tentu semua orang berharap bahwa apa yang digambarkan di kedua film tersebut bukan kejadian riil tapi lebih sebagai bentuk dramatisasi situasi saja.

Otokritik keempat menyatakan bahwa riset pemasaran secara inheren tidak bisa diandalkan. Ini terjadi karena, misalnya, responden tidak memberikan jawaban yang benar karena alasan sopan santun atau tidak tahu bagaimana cara mengungkapkan pendapatnya.

Kelima, metode riset yang digunakan bersifat mengganggu. Contoh paling ekstrim terjadi misalnya dengan survei melalui telepon yang digunakan tanpa meminta terlebih dulu kesedian responden untuk bersedia di survei atau tidak.

Otokritik yang komprehensif tersebut perlu dilakukan agar para praktisi industri riset pemasaran bisa menjaga kepercayaan para pengguna hasil riset. Terkait dengan hal ini maka salah satu misi sentral ESOMAR adalah mempromosikan kode etik dan kode bertindak ke para anggota. Untuk menjaga kode etik dan kode bertindak berada di tingkat yang tinggi seiring dengan perubahan lingkungan bisnis, misalnya dengan semakin meluasnya praktik bisnis berbasis internet, ESOMAR juga tidak ragu untuk terus melakukan penyempurnaan.

Dalam prakteknya, hal ini bukan hanya dilakukan sendiri tapi juga bekerjasama dengan institusi lain seperti bekerjasama dengan Kamar dagang dan Industri International dalam perumusan kode etik dan kode bertindak yang baru di dunia bisnis dan riset sosial dan bekerjasama dengan WAPOR singkatan bahasa Inggris untuk asosiasi terbesar dunia khusus untuk riset opini publik untuk kode etik dan bertindak di survei politik. Di situ kedua organisasi tersebut bahkan merasa perlu memberikan alasan panjang lebar mengenai perlunya menciptakan kode etik dan kode bertindak dalam riset politik.

Selain itu, WAPOR sendiri juga menerbitkan kode etik, termasuk terkait dengan siapa yang membiayai survei, bagaimana mempublikasikan hasil survei dan perlunya keterbukaan informasi, terutama kalau ada rangkap tugas dan profesi.

Singkat kata, tanpa diregistrasi KPU pun pelaku sebetulnya juga ingin menjaga tingkat kepercayaan pengguna. Dan cara terbaik bagi pelaku adalah terus menerus mengumumkan kode etik dan kode bertindak dan mengamalkannya. Kalau perlu kapan pun dan di mana pun mendorong siapa pun, bukan hanya parpol atau KPU, untuk browsing di internet dengan mengetik code of ethics esomar di google dan mendapatkan materi kode etik tersebut. Akan lebih baik lagi kalau pelaku menjelaskan lebih dulu intisari kode etik dan kode bertindak ketika berhadapan dengan publik.

Melangkah ke Depan

Meski sebuah asosiasi industri seperti ESOMAR atau WAPOR gencar mempromosikan kode etik dan kode bertindak yang diharapkan bisa menjaga kepercayaan terhadap industri secara keseluruhan, tapi itu semua tidak akan banyak berarti kalau stakeholders-nya tidak peduli. Ini bukan hanya pengguna riset seperti yang membiayai riset dan pemilih yang merupakan stakeholders utama, tapi juga stakeholders pendukung, seperti pengamat politik dan media. Ketidakpedulian ini bisa terlihat dari ketiadaan mengajukan pertanyaan yang tepat –terutama terkait potensi konflik kepentingan dan metodologi riset- ketika menghadapi sebuah hasil survei. Yang lebih banyak muncul adalah dukungan atau bantahan ketika kepentingan jangka pendek atau pembenaran sesaat bisa atau tidak bisa muncul dari sebuah hasil survei.

Di Indonesia, ketidakpedulian terkait dengan informasi yang tidak bias dan diperoleh dengan standar kualitas kerja yang tinggi bukan hanya fenomena industri riset politik. Misalnya, ketika dulu terlibat dalam kegiatan rutin analisa perusahaan publik di media bisnis ternyata ditemukan bahwa yang namanya keterbukaan informasi hanya berlaku untuk perusahaan publik saja. Analis atau penulis tidak perlu melakukan hal yang sama –misalnya dalam bentuk saham yang dimiliki dan hubungan bisnis yang ada- tidak peduli apakah hasil analisanya bisa punya pengaruh pada pergerakan saham atau tidak.

Padahal, kalau mengikuti standar yang dipraktikkan media bisnis terkemuka dunia, semacam Wall Street Journal, Financial Times dan FORTUNE, keterbukaan informasi dari penulis atau analis merupakan hal yang mutlak. Khususnya untuk mengetahui tingkat bias yang ada di sebuah informasi yang disajikan.

Moga-moga berbagai kritik yang ada bisa memacu praktisi industri riset politik Indonesia untuk bergerak di garda depan dalam meminimalisir bias informasi. Kalau memang menjadi konsultan politik sebuah parpol/capres/cagub/cawali/cabup dan pada saat yang bersamaan rutin mempublikasikan hasil survei politik, ada baiknya menyatakan secara terbuka aktivitas yang berpotensi konflik kepentingan setiap memublikasikan hasil survei. Tentu kalau tidak memublikasikan sebagian atau keseluruhan hasil survei memang tidak perlu melakukan keterbukaan informasi semacam itu. Kalau ini dilakukan dan kemudian menjadi standar praktis industri, kepercayaan pada industri riset politik akan bisa dijaga di tingkat yang tinggi.

Tidak ada komentar: