Selasa, 16 Desember 2008

Iklan dan Peta Politik


Sunny Tanuwidjaja

Dua survei politik terakhir, Lembaga Survei Indonesia dan Cirus Surveyors Group, menunjukkan ada pergeseran peta politik Indonesia menjelang akhir tahun 2008.

Dua pergeseran yang paling menonjol adalah tampilnya Partai Demokrat (PD) sebagai partai papan atas bahkan mampu mengungguli Golkar dan PDI-P.

Saat isu kenaikan harga BBM menjadi perhatian utama publik bulan April-Juni 2008, dukungan terhadap PD dan Susilo Bambang Yudhoyono menurun dratis.

Survei LSI pada April maupun Juni 2008 menunjukkan, dukungan terhadap PD ada pada kisaran sembilan persen dan merupakan tingkat dukungan terhadap PD paling rendah sejak Pemilu 2004. Namun, pada survei LSI September, dukungan terhadap PD meningkat menjadi 12 persen dan survei terbaru LSI pada November menunjukkan PD sudah berhasil mengungguli Partai Golkar dan PDI-P.

Meningkatnya dukungan terhadap PD sering dikaitkan dengan kinerja SBY yang dianggap baik. Karena PD identik dengan SBY, maka jika publik menganggap kinerja SBY baik, PD juga ikut terdongkrak.

Ada dua hal yang belum jelas dan perlu dipelajari lebih lanjut. Pertama, jika betul ada perubahan persepsi publik tentang kinerja SBY dan PD, apa penyebabnya. Kedua, apakah distribusi dukungan politik sekarang dapat menggambarkan peta politik menjelang Pemilu 2009 nanti.

Pengaruh iklan

Berdasarkan data dari AC Nielsen yang diliris Media Indonesia (1/12/2008) tentang pengeluaran partai politik untuk iklan dapat disimpulkan, iklan menjadi salah satu faktor penting dalam meningkatkan dukungan terhadap partai politik. Sebagai catatan, iklan politik tidak selalu berhasil meningkatkan dukungan terhadap suatu partai. Contohnya, PAN, pada Mei dan Juni, gagal mendongkrak dukungan. Berdasar hasil survei LSI, April-Juni 2008 dukungan terhadap PAN hanya naik dari 4,0 persen menjadi 4.5 persen.

Yang menarik diperhatikan adalah pengeluaran iklan Gerindra dan PD. Pada Juni lalu, Gerindra mengeluarkan dana iklan di bawah Rp 1 miliar. Namun, sejak Juli hingga Oktober, biaya iklan Gerindra per bulan mencapai Rp 8 miliar. Peningkatan pengeluaran iklan ini ternyata diikuti peningkatan popularitas dan dukungan yang memuaskan.

Pada Juni dukungan terhadap Gerindra yang terekam survei LSI hanya pada tingkatan 1,0 persen. Namun, dukungan terhadap Gerindra meningkat menjadi 3,0 persen dan 4,0 persen pada September dan November.

Hasil survei Cirus Surveyors Group pada November menunjukkan, dukungan terhadap Gerindra meningkat jika dibandingkan Juni lalu, menjadi sekitar 5,5 persen. Jadi, ada korelasi antara perolehan dukungan Gerindra dan pengeluaran iklan.

Begitu juga dengan PD. Dari Mei hingga Juli 2008, pengeluaran iklan PD di bawah Rp 1 miliar per bulan. Namun, mulai Agustus hingga Oktober, pengeluaran iklan secara konsisten meningkat dari Rp 8,29 miliar (Agustus); Rp 10,08 miliar (September); dan Rp 15,15 miliar (Oktober). Peningkatan pengeluaran iklan diikuti peningkatan dukungan terhadap PD.

Berdasarkan survei LSI, sejak Pemilu 2004, dukungan terhadap PD mencapai titik terendah pada April dan Juni 2008, yaitu di kisaran 9,0 persen. Namun, dari Juni hingga September 2008, dukungan terhadap PD meningkat menjadi 12 persen. Ini sejalan meningkatnya pengeluaran iklan PD pada Agustus dan September. Dukungan terhadap PD kembali meningkat menjadi sekitar 17 persen (November) dan berkorelasi positif dengan meningkatnya jumlah pengeluaran iklan PD pada bulan Oktober.

Berdasarkan pola itu, dapat disimpulkan, untuk Gerindra dan PD, pengeluaran dan intensitas iklan yang gencar dilakukan, menjadi faktor penting meningkatnya dukungan.

Durabilitas peta politik

Iklan politik amat memengaruhi preferensi politik di Indonesia karena banyak pemilih menentukan pilihannya pada hari pemilu (undecided voters). Jadi, banyak pemilih Indonesia yang saat ini belum mempunyai pilihan pasti. Selain itu, iklan politik juga penting dalam persaingan karena jumlah swing voters di Indonesia cukup besar. Swing voters adalah pemilih yang berganti-ganti pilihan politiknya dari satu pemilu ke pemilu lain. Undecided dan swing voters ini yang menjadi target iklan politik.

Apakah keunggulan PD atas Golkar dan PDI-P bisa bertahan sampai Pemilu 2009, akan amat bergantung pada manuver Golkar, PDI-P, dan PKS. Dari AC Nielsen atas pengeluaran parpol untuk iklan, kita bisa melihat Gerindra dan PD adalah dua partai yang paling agresif beriklan diri dalam tiga-empat bulan terakhir. Rata-rata pengeluaran iklan Gerindra per bulan adalah Rp 9 miliar, sementara PD Rp 8,5 miliar. Dibandingkan kedua partai ini, dalam empat bulan terakhir PKS mengeluarkan dana Rp 2,0 miliar, PDI-P Rp 1,5 miliar, dan Golkar Rp 5 miliar untuk iklan.

Dapat dipastikan, mulai 2009, dana dan intensitas iklan politik PKS, PDI-P, dan Golkar akan meningkat. Peningkatan ini memengaruhi efek iklan Gerindra dan PD terhadap dukungan politik yang mereka peroleh karena para undecided dan swing voters akan otomatis terpengaruh iklan PKS, PDI-P, dan Golkar. Juga menjadi pertanyaan, mampukah Gerindra dan PD mempertahankan pengeluaran yang besar dalam empat bulan ke depan guna membiayai iklan politiknya?

Sunny Tanuwidjaja Peneliti Departemen Politik dan Perubahan Sosial CSIS; Kandidat Doktor Ilmu Politik di Northern Illinois University

1 komentar:

infogue mengatakan...

Artikel anda:

http://politik.infogue.com/
http://politik.infogue.com/iklan_dan_peta_politik

promosikan artikel anda di infoGue.com. Telah tersedia widget shareGue dan pilihan widget lainnya serta nikmati fitur info cinema,musikgue,untuk para netter Indonesia. Salam!