Kamis, 25 Desember 2008

Dilema Partai Dakwah

Oleh Ahmad Syafii Maarif

Menurut saya sebuah partai politik yang juga merangkap sebagai pekerja dakwah bukan sesuatu yang mustahil. Dalam sejarah modern Indonesia, sekalipun tidak menyebut dirinya sebagai partai dakwah, Partai Islam Masyumi yang pernah beroperasi selama 15 tahun pascaproklamasi di panggung perpolitikan Indonesia adalah contoh yang terbaik. Sejarah mencatat bahwa Masyumi adalah partai moralis yang diakui lawan dan kawan. Politik dijadikannya sebagai 'kendaraan' untuk mencapai tujuan moral konstitusional berupa tegaknya keadilan yang merata untuk bangsa Indonesia.

Partai ini dikenal sebagai pembela demokrasi dan konstitusi garda depan. Lantaran gigihnya membela dua nilai yang menjadi pilar politik bangsa itu, akhirnya harus martir di ujung bayonet kekuatan ekstra konstitusional di penghujung tahun 1960. Dengan kematian Masyumi ini, dalam tenggang waktu hampir empat dasawarsa kemudian, demokrasi dan konstitusi tidak pernah dihormati lagi, kecuali untuk kepentingan retorika dan pragmatisme politik kekuasaan. Baru sejak tahun 1998, kran demokrasi itu dibuka kembali setelah dikubur sekian lama.

Jika saya memuji Masyumi, bukan berarti tanpa kritik. Kritik pertama yang layak saya alamatkan kepada beberapa tokoh partai ini adalah keterlibatan mereka dalam pergolakan daerah, apa pun alasan mereka untuk itu. Apakah situasi politik di Jakarta yang semakin dikuasai kekuatan merah yang mendorong para tokoh itu untuk hijrah ke daerah yang dipandang lebih memberi perlindungan keamanan mereka yang terancam? Atau, karena para perwira Angkatan Daerah daerah yang sangat memerlukan kehadiran mereka sebagai payung dan suhu politik?

Kritik kedua; apakah tidak terpikir pada waktu itu bahwa Jakarta pasti akan menggempur mereka sebagai pemberontak, sekalipun mereka sebenarnya ingin menegakkan konstitusi yang dilanggar presiden? Politik pada akhirnya sepanjang sejarah pasti berujung dengan adu kekuatan, bukan adu argumen. Masyumi kalah, pemimpin mereka yang turut dalam pergolakan ataupun yang tidak lalu ditangkap dan dipenjarakan selama beberapa tahun tanpa proses pengadilan. Tetapi, Masyumi sebagai partai dakwah yang konsisten secara moral akan tetap dikenang sepanjang masa oleh mereka yang belajar sejarah. Tidak ada di antara pemimpin mereka yang menjadikan politik sebagai sawah-ladang untuk menopang kehidupan keluarga mereka. Semua mereka juga tidak ada yang mempraktikkan poligami, sekalipun tidak menentangnya. Kesederhanaan perilaku mereka sudah hampir hilang dari memori kolektif bangsa ini.

Saya mengangkat Masyumi ini tentu punya tujuan jelas; politik dipakai untuk mencapai tujuan dakwah. Tidak sebaliknya, dakwah dijadikan kendaraan politik kekuasaan dengan segala akibat buruknya dipandang dari sisi agama. Mengapa dalam sejarah Indonesia modern pernah muncul partai yang seperti itu? Jawabannya adalah karena para pemimpin mereka seluruhnya adalah pejuang kemerdekaan yang paham betul apa makna pengorbanan untuk kepentingan yang besar dan mulia. Selain itu, sebagian besar tokoh Masyumi pernah dilatih secara intelektual dan spiritual oleh diplomat kenamaan Indonesia, H Agus Salim, jauh sebelum merdeka. Salim yang hampir sepanjang hidupnya berada dalam lingkungan penderitaan dan kemiskinan. Sosok inilah yang menjadi panutan Masyumi dalam berjuang, sehingga mereka benar-benar tahan bantingan untuk tidak hanyut dalam pragmatisme politik yang dapat mengorbankan prinsip dakwah.

Nah, jika ada partai yang juga mengklaim diri sebagai partai dakwah, tetapi dipimpin oleh mereka yang belum teruji secara moral dan intelektual, tentu akan sulit diharapkan untuk menempatkan politik sebagai kendaraan dakwah. Pasti yang berlaku sebaliknya: pragmatisme politik kekuasaan akan lebih dominan, sedangkan tujuan dakwah untuk menegakkan kejujuran, keadilan, dan kebenaran secara berangsur akan dipinggirkan untuk kemudian diabaikan sama sekali. Maka, jadilah partai itu tampil dalam kamuflase yang menipu para pemilih.

Bukankah ini sebuah pengkhianatan yang dapat menjadi bumerang bagi agama yang mereka peluk dalam tempo yang tidak terlalu lama? Saran saya agar para elite partai ini atau partai lain yang mengusung bendera syariah mau membuka sejarah Masyumi dan kehidupan para pemimpinnya. Siapa tahu di sana akan ditemukan sumber inspirasi dan sumber keteladanan yang tidak pernah kering, sebelum segala sesuatu semakin meluncur ke kubangan politik yang airnya masih keruh dan kumuh.

(-)

Tidak ada komentar: