Minggu, 14 Desember 2008

Narsistik Sang "Pejuang"



KOMPAS/ARBAIN RAMBEY / Kompas Images
Nanang Sukirman di samping poster politiknya. Untuk membuat poster ini, Nanang meminta agar fotonya diolah memakai program komputer agar wajahnya tampak lebih cerah.

Budi Suwarna & Ilham Khoiri

Melalui poster dan spanduk, sebagian caleg tidak malu-malu mencitrakan diri sebagai pejuang, pemersatu bangsa, intelektual, pemimpin yang saleh, atau penyambung lidah rakyat. Persoalannya, apakah rakyat peduli?

Sang Pejuang PPP Bangkit”. Begitulah jargon pada poster Nanang Sukirman, caleg PPP urutan 2 untuk DPRD Kabupaten Tangerang, yang ditebar di beberapa sudut kawasan Ciputat, Tangerang, Banten. Nanang (46) merasa jargon pada poster itu sama sekali tidak berlebihan. Pasalnya, dia merasa telah berjuang sejak terjun di dunia politik tahun 1982.

”Dari dulu saya selalu terlibat memperjuangkan aspirasi kelompok minoritas. Makanya, saya tidak memilih partai mapan seperti Golkar,” kata dia, Ka- mis (11/12), di rumahnya di Ciputat.

Dia juga mengaku selalu berjuang untuk duduk di kursi parlemen. Karena itu, meski sudah tiga kali menjadi caleg—sekarang yang keempat—dan gagal terus, Nanang tidak kapok. ”Saya ingin memperlihatkan kepada masyarakat saya ulet dan terus memperjuangkan cita-cita,” ujar dia.

Suryadi, caleg PDI-P urutan 10 untuk DPRD Kabupaten Tangerang, memasang poster yang dibubuhi foto-foto kaum jelata seperti pemulung, anak yatim piatu, serta nenek renta dan miskin. Masing-masing foto dibubuhi kata-kata: perhatian; nggak sombong dan baik hati; amanah; peduli euy; dekat dengan rakyat; bersih, jujur, dan cerdas.

Poster itu, menurut Suryadi, mencerminkan sikapnya sebagai orang sederhana dan siap melayani masyarakat. ”Saya tidak mempersepsi diri saya sebagai pemimpin, tetapi orang yang diamanatkan untuk menyuarakan aspirasi rakyat,” kata dia di Cireunde, Tangerang, Kamis.

Lain lagi dengan Eman Sukirman, caleg DPR dari Partai Keadilan Sejahtera. Melalui poster, spanduk, dan kolom di tabloid, dia ingin menonjolkan intelektualitas dan kereligiusannya. Mungkin, itu sebabnya, dia juga membubuhkan gelar haji dan gelar akademik SE serta MSi di depan dan belakang namanya.

Baginya itu tidak berlebihan. Pasalnya, dia memang merasa sebagai orang yang visioner, punya impian besar, pintar, inovatif dan kreatif, tegas, tidak temperamental, cepat merespons, ekstrover, dan berpikir visual.

Ketua DPR Agung Laksono yang juga caleg DPR dari Partai Golkar memasang poster bertuliskan kata-kata seperti terbuka, arif, dan bijaksana. Apakah memang begitu penilaian Agung pada dirinya sendiri?

”Oh, itu penilaian staf saya. Staf saya yang menuliskan kata-kata itu dalam poster. (Jadi) bukan saya yang menilai diri sendiri,” kata Agung, Jumat (12/12).

Agung mengaku dia lebih banyak menyampaikan pandangannya daripada promosi pribadi. Karena itu, dia rajin memanfaatkan momen tertentu untuk menyampaikan pesan. Ketika peringatan Hari Kemerdekaan RI 17 Agustus, Agung menyampaikan pesan perlunya mempertahankan NKRI. ”Pas saat lebaran, saya sampaikan pesan lebaran,” kata dia.

Selain membangun citra melalui atribut kampanye, para caleg juga mengaku mendekati konstituen dengan berbagai cara. Ada yang membagikan kalender, ikut pengajian, atau membuat acara syukuran bersama konstituen.

Narsistik

Boleh saja para caleg menilai dirinya setinggi langit di poster dan spanduk mereka, tetapi bagi pengamat komunikasi politik, Idi Subandy, praktik semacam itu sejatinya adalah bentuk narsisme. ”Mereka tergila-gila memuji dan menilai diri sendiri,” tegas dia, Jumat.

Idi menambahkan, para caleg itu tidak menyadari mereka merekonstruksi sedemikian rupa citra dirinya lewat senyum, gelar, peci, atau baju koko, secara berlebihan. Karena serba berlebihan, citra yang terbentuk jauh melampaui realitas sebenarnya.

Sialnya, spanduk dan poster semacam itu sedemikian banyaknya beredar di ruang publik hingga ruang privat. ”Ke mana pun mata memandang, orang dipaksa melihat wajah caleg di poster, spanduk, stiker, koran, dan televisi,” ujar Idi.

Alih-alih menarik perhatian, bagi sebagian orang, poster dan spanduk caleg justru meneror. Ini dirasakan Iwan Setiawan (33), warga Manggarai, Jakarta Selatan.

Dia mengaku sangat terganggu dengan banyaknya poster di sudut-sudut kota. Orang suruhan caleg dengan enaknya mema- ku spanduk di pohon peneduh jalan. Padahal, spanduk yang dipasang seperti itu bisa menghalangi pandangan pengemudi kendaraan.

Mereka tanpa izin menempeli tembok rumah dan kantor, termasuk tembok kantor Iwan, dengan poster caleg yang kumal dan desainnya amburadul. ”Mereka main tempel tanpa izin. Siang hari kami bersihkan, malam hari berikutnya ditempel lagi,” kata Iwan.

Dari situ saja Iwan mengaku sangat sebal dengan poster caleg. ”Jangankan bisa mengambil hati, saya malah enek! Poster itu norak, pemasangannya semrawut, dan hanya memajang muka yang begitu-begitu saja. Jakarta yang sudah berantakan makin kacau akibat poster itu.”

Yanto (56), tukang tambal ban warga Cilandak Tengah, Jakarta Selatan, memilih tidak mengacuhkan poster caleg. ”Kenal juga enggak sama mereka. Daripada memandangi foto caleg, lebih baik saya bekerja menghidupi anak-istri,” tambah dia.

Dia juga tidak peduli dengan jargon dan pesan manis dan membuai pada poster atau spanduk caleg. ”Siapa yang jamin para caleg itu perbuatannya nanti tidak melenceng dari kata-kata yang dijanjikan? Anggota DPR yang sekarang terkena kasus korupsi, dulu kampanyenya bagus-bagus,” kata dia.

Apa pun kata orang, Nanang, caleg yang disebut pada awal tulisan ini, mengatakan, dia akan terus menyebar ribuan poster dan stiker.

”Orang memilih caleg, bukan partai. Jadi, muka caleg sangat penting dikenal orang seluas mungkin. Sebagian orang mungkin muak melihat poster caleg, sebagian lagi kan enggak,” kata dia yakin.

Soal program? ”Orang mungkin malah (tambah) muak kalau caleg bicara program,” kilah Nanang. (Susi IVVaty)

Tidak ada komentar: