Rabu, 24 Desember 2008

Mahalnya Demokrasi

Dono Widiatmoko
Sekretaris ICMI UK, Senior Lecturer di University of Salford, Inggris

Iklim dan sistem demokrasi Indonesia dalam sepuluh tahun terakhir telah berkembang sangat pesat. Dimulai dari dihentikannya oligopoli tiga partai zaman Orde Baru menjadi sistem multipartai, dibentuknya DPD sebagai bagian dari sistem parlemen bikameral, pemilihan presiden langsung, dan juga pilkada provinsi dan kabupaten.

Semuanya menggambarkan dinamisnya perubahan yang oleh kebanyakan kalangan dianggap sebagai perkembangan yang sangat positif. Pada setiap periode lima tahun, ada empat kegiatan besar yang harus dilakukan: pemilu legislatif, pemilu presiden, pilkada provinsi, dan pilkada kabupaten. Penyelenggaraan sistem demokrasi ini tentu harus ada harga yang dibayarkan oleh kita semua rakyat Indonesia, yang berbentuk pengeluaran pemerintah melalui APBN.

Pada tahun anggaran 2009 Komisi Pemilihan Umum (KPU) mendapatkan dana Rp 13,5 triliun yang merupakan penurunan dari jumlah anggaran yang diajukan oleh KPU, yaitu Rp 14,1 triliun. Dengan adanya penurunan anggaran ini maka KPU harus menekan biaya masing-masing komponen agar memenuhi pagunya.

Jika proporsi penggunaan anggaran ini sama dengan proporsi yang diajukan, maka bisa diperkirakan anggaran 2009 untuk pemilu DPR adalah Rp 4,82 triliun dan pemilu presiden sebesar Rp 8,68 triliun. Sebelumnya untuk anggaran 2008, KPU mendapat alokasi dana Rp 6,67 triliun. Jika kita asumsikan proporsi pengeluaran yang sama bisa digunakan untuk tahun anggaran 2008, jatah anggaran untuk pemilu presiden adalah Rp 4,29 triliun. Simpelnya, total biaya yang diperlukan untuk memilih paket presiden dan wakil presiden baru Indonesia untuk lima tahun ke depan Rp 12,97 triliun.

Untuk memilih anggota legislatif, perhitungannya menjadi lebih rumit karena ada beberapa tingkat pemilihan anggota legislatif, mulai dari DPR Pusat, DPRD I, DPDRD II, dan DPD. Untuk menyederhanakan analisis, kita misalkan saja untuk masing-masing kategori kegiatan tersebut bobot pembiayaannya sama. Jadi biaya penyelenggaraan pemilu pusat sama bobotnya dengan pemilu DPRD I dan II, dan juga DPD. Dari total anggaran pemilu legislatif sebesar Rp 7,19 triliun tadi bisa dibagi empat untuk masing-masing tingkat pemilihan sehingga anggaran untuk memilih anggota DPR pusat adalah sebesar Rp. 1,8 triliun.

Mengingat pada pemilu 2009 akan dipilih 550 anggota legislatif DPR pusat, untuk memilih seorang anggota DPR akan diperlukan biaya Rp 3,27 miliar per anggota DPR terpilih nantinya. Jika kita bagi total anggaran untuk penyelenggaraan pemilu nanti yang sebesar Rp 20,17 triliun tadi dengan jumlah seluruh pemilih sebesar 174,41 juta jiwa, maka biaya yang dikeluarkan untuk memilih pasangan presiden dan wapres sebesar Rp. 115,647 untuk setiap pemilih.

Jika kita bandingkan ini, misalnya dengan pengeluaran negara untuk kesehatan sebesar Rp 155,695 per orang (National Health Account 2006) terlihat jelas bahwa ongkos penyelenggaraan pemilu ini mahal adanya. Apalagi, jika dilihat analisis di atas baru terbatas pada biaya yang dikeluarkan oleh KPU dan belum termasuk biaya yang dikeluarkan oleh institusi terkait lainnya.

Biaya pengamanan pemilu, ongkos kampanye masing-masing parpol, caleg, dan capres, dan lain-lain belumlah masuk dalam hitungan tersebut. Belum lagi biaya yang diperlukan untuk memberikan gaji, fasilitas dan biaya operasional bagi mereka yang terpilih nantinya menjalankan tugasnya masing-masing.

Mungkin tidak ada yang tidak sepakat jika demokrasi adalah jalan terbaik yang harus dilalui Indonesia untuk menjamin kelangsungan hidup bernegara. Pemilu adalah tahap terpenting yang harus dilalui untuk menjamin terlaksananya demokrasi di Indonesia. Dengan demikian, ongkos pemilu yang harus dikeluarkan adalah konsekuensi logis dari kemauan kita mengikuti jalan demokrasi. Uang yang dikeluarkan sebesar itu mungkin harga tepat yang harus dibayar dalam proses demokrasi ini.

Mahalnya biaya proses demokrasi kita haruslah diimbangi oleh kinerja dan integritas para pengemban amanat demokrasi. Masyarakat yang pada gilirannya harus membayar ongkos demokrasi lewat pajak dan pengurangan fasilitas yang disediakan negara berhak meminta pertanggungjawaban mereka yang duduk di kursi empuk Senayan dan Istana Merdeka. Jika tidak, antipati masyarakat mungkin akan lebih muncul dan tingkat partisipasi politik akan menurun karenanya.

Sayangnya, masih sering rakyat Indonesia mendengar suara sumbang dan mencium bau busuk dari institusi pengemban amanah demokrasi. Terbongkarnya berbagai kasus suap bermiliar rupiah yang melibatkan para anggota legislatif, misalnya, semakin memperpuruk reputasi lembaga pengemban amanah itu.

Harapan besar yang semula timbul dari hasil reformasi 1998 seakan terus pudar. Tidak tampak perubahan berarti dari Senayan atau bahkan mungkin bahkan terasa lebih buruk dibanding dulu akibat diangkatnya kasus-kasus ini oleh KPK.

Harapan kita ke depan tentunya mereka yang terpilih di berbagai tingkatan dari pemilu mendatang sadar, rakyat Indonesia telah mengorbankan uang yang besar untuk memilih mereka. Mudah-mudahan itu kemudian bisa menjadi cambuk agar mereka dapat menjalankan tugas sebaik-baiknya.

(-)

Tidak ada komentar: