Rabu, 24 Desember 2008

Sistem Nomor Urut

Dihapuskan Suara terbanyak menjadi penentu caleg terpilih.


JAKARTA -- Nomor urut tak akan berperan lagi dalam menentukan calon anggota legislatif (caleg) terpilih pada Pemilu 2009. Caleg terpilih akan ditentukan berdasarkan suara terbanyak. Sistem pemilu yang semula proporsional terbatas pun bergeser menjadi proporsional murni.

Perubahan tersebut terjadi setelah Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan uji materiil (judicial review) Pasal 214, Undang-Undang No 10/2008 tentang Pemilu Legislatif. MK menilai Pasal 214 bertentangan dengan konstitusi, karena suara terbanyak dikalahkan nomor urut.

''Pasal 214 huruf a, b, c, d, dan e UU No 10/2008 bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat,'' kata Ketua Majelis Hakim Konstitusi, Mahfud MD, di kantor MK, Selasa (23/12).Penentuan caleg terpilih di Pasal 214 dilakukan bertingkat. Dimulai dengan galah raihan 30 persen bilangan pembagi pemilih (BPP) dan seterusnya (lihat boks). Dengan putusan MK, BPP menjadi nol dan peraih suara terbanyak, berapa pun persentasenya, jadi caleg terpilih.

Dalam pertimbangannya, Mahkamah menyatakan setiap caleg mempunyai kedudukan dan kesempatan sama di hadapan hukum. Karena itu, Mahkamah menilai Pasal 214 menerapkan standar ganda dan perlakuan berbeda. Mahkamah menilai penentuan caleg dengan nomor urut merupakan pemasungan hak rakyat dan menusuk rasa keadilan. Padahal, konstitusi jelas menyatakan kedaulatan tertinggi berada di tangan rakyat. Karena itulah, menurut hakim konstitusi, Muhammad Alim, ''Rakyat harus menjadi subjek dalam pemilu, bukan menjadi objek dari peserta pemilu.''

Selain itu, Mahkamah berpendapat penerapan sistem proporsional terbuka seharusnya membuat pelaksanaannya lebih sederhana dan ringkas, di mana calon yang terpilih adalah peraih suara terbanyak. Apalagi, Mahkamah menilai cara ini lebih fair, sebab sesuai perjuangan caleg.Tapi, seorang hakim konstitusi, Maria Farida Indrati, menyampaikan pendapat berbeda (dissenting opinion). ''Suara terbanyak akan menimbulkan inkonsistensi terhadap tindakan afirmatif terhadap perempuan,'' katanya.

Pemohon uji materiil, Muhammad Sholeh, girang pada putusan MK. Caleg DPRD dari PDIP yang mendapat nomor urut tujuh itu menyatakan semua caleg kelak harus berjuang untuk mendapatkan kursi. Pemohon uji materiil lainnya, Sutjipto, caleg dari Partai Demokrat, mengatakan, ''Buat saya yang berada pada nomor urut satu, sebenarnya putusan ini tidak berpengaruh. Tapi, ini untuk demokrasi dan rasa keadilan.''

Self executing
Kendati Pasal 214 tak lagi memiliki kekuatan hukum mengikat, Mahkamah menyatakan tak akan menimbulkan kekosongan hukum, walaupun tanpa revisi UU dan pembentukan peraturan pemerintah pengganti UU (perppu). ''Putusan Mahkamah demikian bersifat self executing,'' kata hakim.

Anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU), Andi Nurpati, justru mengatakan KPU akan membuat peraturan untuk melaksanakan putusan MK. ''KPU dan tentu saja seluruh peserta pemilu, terutama parpol, calon anggota DPR dan DPRD, harus mengikuti putusan itu, karena Pasal 214 sudah dinyatakan bertentangan dengan UU 1945,'' katanya.Mengomentari putusan MK, Direktur Eksekutif Center for Electoral Reform (Cetro), Hadar Navis Gumay, mengatakan, ''Baguslah. Putusan ini kado indah menjelang pergantian tahun dari MK untuk sistem pemilu Indonesia.''

Hadar menilai, sudah tidak diperlukan lagi revisi UU Pemilu maupun perppu untuk melaksanakan putusan MK. ''Ini sudah self executing. Cukup KPU dalam peraturannya mencantumkan penetapan caleg dengan suara terbanyak,'' kata Hadar.Pakar hukum tata negara, Denny Indrayana, mengatakan putusan MK ini secara konstitusional sudah benar.

Pernyataan MK dalam pertimbangannya bahwa putusan tersebut adalah self executing, juga dinilai Denny sudah cukup menjadi payung hukum penerapan suara terbanyak.Karena itu, Denny yang juga staf khusus presiden bidang hukum ini, menegaskan, ''Jangan membuka ruang perlu peraturan KPU atau sebagainya. Putusan itu sudah jelas. Jalan saja suara terbanyak,''

Konsultasi
Meski MK sudah menyatakan self executing, mantan ketua Pansus RUU Pemilu, Ferry Mursyidan Baldan, tetap meminta pertemuan konsultasi pemerintah, DPR, dan KPU. Bisa pula, kata dia, KPU menelaah putusan itu secara yuridis, kemudian dikonsultasikan kepada pemerintah dan DPR.

Ferry mengaku menghormati putusan MK. Tapi, dia menilai masih ada yang perlu diperjelas. ''Apakah sifat pembatalannya menjadi tidak berlaku, menjadi tidak memiliki kekuatan hukum mengikat, atau sekadar menyatakan pasal tersebut bertentangan dengan konstitusi?'' nap/ann/dwo

Klausul Serba Nomor Urut yang Dibatalkan MK

(Pasal 214 UU No 10/2008 tentang Pemilu Legislatif)

Penetapan calon terpilih anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD kabupaten/kota ... didasarkan pada perolehan kursi partai politik peserta pemilu di suatu daerah pemilihan, dengan ketentuan:

a. calon terpilih ... ditetapkan berdasarkan calon yang memperoleh suara sekurang-kurangnya 30% (tiga puluh persen) dari BPP;

b. dalam hal calon yang memenuhi ketentuan huruf a jumlahnya lebih banyak daripada jumlah kursi yang diperoleh partai politik peserta pemilu, maka kursi diberikan kepada calon yang memiliki nomor urut lebih kecil di antara calon yang memenuhi ketentuan sekurang-kurangnya 30% dari BPP;

c. dalam hal terdapat dua calon atau lebih yang memenuhi ketentuan huruf a dengan perolehan suara yang sama, maka penentuan calon terpilih diberikan kepada calon yang memiliki nomor urut lebih kecil di antara calon yang memenuhi ketentuan sekurang-kurangnya 30% dari BPP, kecuali bagi calon yang memperoleh suara 100% dari BPP;

d. dalam hal calon yang memenuhi ketentuan huruf a jumlahnya kurang dari jumlah kursi yang diperoleh partai politik peserta pemilu, maka kursi yang belum terbagi diberikan kepada calon berdasarkan nomor urut;

e. dalam hal tidak ada calon yang memperoleh suara sekurang-kurangnya 30% dari BPP, maka calon terpilih ditetapkan berdasarkan nomor urut.

Tidak ada komentar: