Minggu, 14 Desember 2008

Mohon Doa & Restu


Ilham Khoiri & Budi Suwarna

Pemilu baru berlangsung April 2009 nanti. Meski demikian, sekarang kita telah diserbu berbagai poster, spanduk, dan baliho para caleg yang memenuhi sudut-sudut kota.

Apakah pencitraan diri para calon anggota legislatif alias caleg dengan memajang wajah yang monoton itu merupakan strategi komunikasi yang apik? Atau akhirnya malah jadi sampah visual di ruang publik?

”Mohon doa & restu”. Begitu teks yang lazim terpampang di poster, spanduk, atau baliho kampanye para caleg. Kalimat yang jamaknya dicantumkan pada undangan pernikahan itu juga dilengkapi jargon-jargon kampanye, seperti ”dukung”, ”contreng nomor…”, ”pilihan rakyat”, atau mencatut bahasa Inggris, ”trust me!”

Di dekat teks itu ditampilkan foto diri caleg yang tampak menonjol dari kejauhan. Entah bagaimana, wajah-wajah itu terlihat serupa belaka. Mereka memasang senyum manis, raut muka yang tampak bijak-bestari, dan sorot mata penuh percaya diri.

Biar lebih meyakinkan, namanya dicetak besar-besar dan dilengkapi gelar haji atau titel berderet. Di bawah itu, mereka mencantumkan posisi legislatif yang diincar, entah jadi anggota DPR RI, DPRD provinsi, DPRD kabupaten/kota, atau mau jadi anggota Dewan Perwakilan Daerah.

Masih ada kemiripan lain. Jika lelaki, orang itu pakai peci hitam. Jika perempuan dan Muslimah, dia memakai jilbab atau kerudung. Caleg laki-laki rata-rata memakai jas partai dengan dasi necis. Biasanya, dipasang juga foto ketua umum partai yang mengusung.

Atribut kampanye yang nyaris seragam itu kian mengurung warga kota. Tak hanya di jalan umum yang ramai, tetapi juga merasuki sudut-sudut gang. Gambar-gambar itu ditempelkan begitu saja di tembok terbuka, ditancapkan di batang pohon, atau dibeberkan di depan rumah warga.

Mendekati pemilu yang dijadwalkan April 2009, jumlah atribut itu bakal membeludak. Coba kita hitung dengan perkiraan kasar. Total caleg yang memperebutkan semua kursi legislatif di di seluruh Indonesia lebih kurang 460.000 orang. Jika setiap satu orang mencetak 1.000 poster saja, total ada 460 juta poster.

Jika satu poster panjangnya 50 cm saja, ketika dijejer berurutan panjangnya bisa mencapai 230.000 kilometer. Seberapa panjang itu? Bandingkan saja, bentangan jarak dari Sabang di Aceh sampai Merauke di Papua hanya 5.000 kilometer. Artinya, bentangan poster itu mencapai 46 kali jarak dari ujung ke ujung negeri ini.

Itu hanya menyangkut poster. Jika diperlebar mencakup spanduk, baliho, dan atribut lain, hasilnya bisa lebih mencengangkan. Belum lagi soal besaran nilai finansial yang berputar untuk memproduksi berbagai atribut visual itu.

Berjibaku

Bagaimana para caleg tersebut memproduksi pencitraan visual itu? Mereka sadar, dalam sistem pemilu legislatif yang relatif langsung sekarang (beberapa partai menetapkan suara terbanyak yang akan dipilih), tak ada jalan lain bagi caleg, kecuali berkampanye untuk diri sendiri. Simbol-simbol, seperti peci, wajah cerah, dan senyum, dianggap penting untuk meningkatkan citra diri sebagai caleg di mata calon pemilih.

Untuk itu, mereka rela berjibaku dengan berbagai cara. Simak saja cerita Nanang Sukirman (46), caleg Partai Persatuan Pembangunan (PPP) nomor 2 untuk DPRD Kabupaten Tangerang, yang memasang foto diri di spanduk dan posternya. Foto itu, katanya, buatan tahun 2004 ketika jadi caleg Pemilu 2004.

Saat itu dia minta dipotret khusus di sebuah studio di Ciputat yang menjepretnya sampai delapan kali. Hasil terbaiknya lantas di-retouch (diperbaiki dengan bantuan perangkat lunak komputer) lagi agar warnanya lebih cerah. ”Di situ wajah saya segar, kulit cerah, dan kelihatan sering shalat,” kata Nanang.

Masih soal foto, Eman Sukirman, caleg DPR RI Daerah Pemilihan Banten 2 dari Partai Keadilan Sejahtera (PKS), punya cerita serupa. Bersama caleg lain dari PKS, dia berfoto di Kantor DPP PKS dengan mendatangkan fotografer dari Studio 55 di Jalan Raden Saleh, Jakarta Pusat. Untuk tiga gaya foto, dia membayar Rp 300.000.

Ishak Ramli, caleg DPRD Provinsi Kepulauan Bangka Belitung dari Partai Golkar, rela bolak-balik Pangkal Pinang-Jakarta demi mencetak kartu nama dan baliho di studio cetak digital di Proyek Senen, Jakarta Pusat. ”Di sini bisa lebih murah dan hasilnya bagus,” kata dia.

Leo Nababan, caleg nomor 2 untuk DPR RI dari Daerah Pemilihan Sumatera Utara II, mengeluarkan modal tak sedikit. Dia memproduksi 15.000 bendera partai yang dicantumi namanya, pasang iklan di sebuah tabloid yang dicetak 250.000 eksemplar, serta menyebarkan 250.000 pesan ucapan Selamat Hari Natal dan Tahun Baru 2009. ”Januari nanti saya mau bagi-bagi 1.500 baliho lagi,” kata Koordinator Bidang Pemenangan Pemilu DPP Partai Golkar itu.

Teror wajah

Apakah usaha para caleg berhasil menciptakan komunikasi visual yang memikat? Menurut pengamat seni rupa dan periklanan, Enin Supriyanto, hampir semua poster, baliho, atau spanduk yang memajang tampang para caleg itu masih sebatas tahap pengumuman bahwa yang bersangkutan maju memperebutkan kursi legislatif. Strategi komunikasi visualnya belum mencapai tahap iklan, apalagi membangun public relations.

Iklan menghajatkan bahasa visual yang membujuk khalayak agar punya pandangan positif tentang sosok tertentu. Lebih jauh, public relations membangun hubungan dengan masyarakat konstituen dengan cara memperlihatkan perhatian atau menunjukkan kinerja nyata. ”Foto diri para caleg dengan pose monoton itu mencerminkan semiotika wajah yang miskin kreativitas,” kata dia.

Bagi pengajar Desain Komunikasi Visual Institut Seni Indonesia Yogyakarta, Sumbo Tinarbuko, fenomena visual ini sekaligus menggambarkan, betapa politisi biasa berpikir instan. Peci, gelar, dan gambar menyantuni orang miskin dikira dapat mencitrakan sosok yang agamis, intelek, dan perhatian kepada rakyat. Padahal, semua itu hanya tanda yang serba permukaan. Citra itu sejatinya hanya dapat dibuktikan lewat perilaku, pola pikir, dan kinerja nyata.

Sumbo juga menyoroti pemasangan atribut yang semrawut. Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 19 Tahun 2008 melarang pemasangan alat peraga kampanye di tempat ibadah, rumah sakit, lembaga pendidikan, jalan protokol, dan jalan tol. Penempatannya pun harus mempertimbangkan etika, estetika, kebersihan, dan keindahan sesuai dengan peraturan pemerintah daerah.

”Faktanya, kebanyakan poster, baliho, dan spanduk para caleg itu sudah jadi sampah visual yang membuat tata ruang kota riuh rendah. Kalau dibiarkan terus, itu akan jadi teror visual,” kata Sumbo. (Susi Ivvaty)

Tidak ada komentar: