Kamis, 25 Desember 2008

Putusan MK


Jangan Sampai Dorong Praktik Korupsi

Jakarta, Kompas - Meski putusan Mahkamah Konstitusi mengenai penetapan calon terpilih dengan suara terbanyak bisa dilakukan tanpa revisi UndangUndang Nomor 10 Tahun 2008 mengenai Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD, masih ada implikasi teknis dan substansial terkait putusan tersebut. Salah satunya adalah kemungkinan meningkatnya praktik korupsi di partai politik

Mantan anggota Panitia Khusus RUU Pemilu, Saifullah Ma’shum (Fraksi Kebangkitan Bangsa, Jawa Timur V), Rabu (24/12), mempertanyakan sifat kemutlakan prinsip suara terbanyak itu. DPR mesti secepatnya menindaklanjuti putusan tersebut.

Salah satu masalah yang perlu diantisipasi adalah menyangkut soal suara yang diberikan pemilih pada partai politik. ”Apakah besar-kecilnya suara pemilih yang hanya memilih parpol tidak diperhitungkan dalam penetapan calon terpilih?” kata Saifullah.

Mantan anggota Pansus RUU Pemilu, Agus Purnomo (Fraksi Partai Keadilan Sejahtera), pun mengingatkan risiko jangka panjang akibat putusan MK tersebut.

Dalam berbagai kasus di Amerika Latin, misalnya, penetapan sistem suara terbanyak berbanding lurus dengan peningkatan korupsi anggota parlemen akibat persaingan antarparpol dan internal parpol. Praktik korupsi muncul akibat biaya kandidasi yang lebih mahal. Selain itu, sistem suara terbanyak bisa melemahkan parpol.

Padahal, desain awal dari revisi paket undang-undang bidang politik adalah pelembagaan parpol.

Agus mengkhawatirkan putusan MK berikutnya atas sejumlah gugatan uji materi atas UU No 10/2008. Jika MK mengabulkan permintaan pembatalan ketentuan ambang batas parlemen (parliamentary threshold), sistem kepartaian Indonesia pun menjadi tanpa bentuk.

Secara terpisah, Direktur Eksekutif Lingkar Madani untuk Indonesia (Lima) Ahmad Fauzi Ray Rangkuti menyebutkan, putusan MK memang memastikan cara penetapan calon terpilih dan mengakhiri kemungkinan konflik akibat perbedaan cara penetapan calon terpilih.

Namun, sekalipun putusan MK disebut sebagai self executing, pasal-pasal terkait tidak bisa diabaikan. Perlu penyisiran terhadap pasal-pasal teknis lain terkait dengan ketentuan baru itu. Misalnya, soal tata cara pemberian suara. ”Memberikan suara ke parpol tidak relevan. Bila dinyatakan tetap sah, ke mana suara parpol dialihkan?” kata Ray.

Selamatkan rakyat

Sebaliknya, sejumlah kalangan menilai putusan MK itu telah menyelamatkan rakyat dari penipuan yang dilakukan pemimpin sejumlah partai politik. Ketua DPP Partai Hati Nurani Rakyat Fuad Bawazier menyampaikan itu di Gedung DPR, Rabu. ”Putusan MK itu top,” ujarnya.

Menurut Fuad, peran parpol memang seharusnya cukup untuk menetapkan daftar caleg. Mengenai siapa yang dipilih, itu harus diserahkan kepada rakyat.

Fuad menyanggah pandangan bahwa penetapan caleg berdasarkan suara terbanyak akan membuat caleg berduit atau yang hanya mengandalkan popularitas lebih berpeluang dipilih.

Menurut dia, apabila banyak artis yang minim pengalaman politik terpilih sebagai anggota DPR, yang harus disalahkan adalah partai politik, bukan putusan MK. Soalnya, partai politik bersangkutan yang memasukkan orang-orang tersebut ke dalam daftar calegnya.

Wakil Ketua Fraksi PAN Dradjad Wibowo juga bergembira dengan putusan MK yang dinilainya akan sangat menguntungkan partainya pada pemilu mendatang karena banyak caleg PAN memiliki latar belakang akademisi, pengusaha, maupun artis yang populer di masyarakat.

Sementara itu, Wakil Presiden Muhammad Jusuf Kalla, yang juga Ketua Umum DPP Partai Golkar, menilai keputusan itu akan mendekatkan anggota DPR dengan rakyat pemilihnya.

Mengenai peluang kader partai yang belum populer, Kalla menyatakan, caleg tersebut harus memulai bekerja dari bawah. ”Dengan sistem suara terbanyak, artinya juga uang tak berarti segalanya. Karena kalau uang saja yang menentukan, hanya orang kaya yang bisa menjadi anggota DPR,” katanya.(DIK/SUT/HAR)

Tidak ada komentar: