Jumat, 26 Desember 2008

Putusan MK Merugikan Caleg Perempuan


Keputusan Itu Mengembalikan Kedaulatan Pemilih
Jumat, 26 Desember 2008 | 00:38 WIB

Jakarta, Kompas - Putusan Mahkamah Konstitusi yang membatalkan pemakaian sistem nomor urut dalam penetapan calon anggota legislatif dinilai merugikan caleg perempuan. Pasalnya, penghapusan sistem nomor urut membuat perlakuan khusus terhadap perempuan melalui kuota 30 persen tidak efektif. Putusan itu dinilai melanggengkan nilai patriarkis.

Demikian diungkapkan anggota Komisi III DPR, Eva Kusuma Sundari, yang juga caleg untuk DPR periode 2009-2014 dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan.

Menurut dia, ada hubungan kausalitas antara pembatalan Pasal 214 Huruf a, b, c, d, dan e Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Presiden dengan efektivitas kuota 30 persen. Pasal 214 tersebut menjadi syarat utama pemberlakuan pasal kuota 30 persen.

Selama ini partai dituntut memenuhi kuota tersebut sebagai salah satu affirmative action untuk mewujudkan kesetaraan laki-laki dengan perempuan. Bahkan, dalam pengaturan nomor urut caleg perempuan telah diatur agar di setiap tiga caleg harus ada satu caleg perempuan. Beberapa parpol bahkan menempatkan caleg perempuan di nomor urut kecil.

Namun, menurut Eva, upaya itu rontok setelah Mahkamah Konstitusi memutuskan penghapusan sistem nomor urut.

Dalam putusannya, Mahkamah Konstitusi mengakui perlunya perlakuan khusus untuk caleg perempuan. Mahkamah Konstitusi tidak membatalkan ketentuan Pasal 55 Ayat 2 UU No 10/2008 karena UUD 1945 mengakui adanya perlakuan khusus seperti tercantum dalam Pasal 28 H Ayat 2.

Firmansyah Arifin dari Konsorsium Reformasi Hukum Nasional mengakui putusan Mahkamah Konstitusi yang menempatkan suara terbanyak dalam penetapan caleg terpilih memang dilematis. Di satu sisi, putusan tersebut adil. Namun, dari perspektif perempuan, putusan itu memang meresahkan.

Digembosi

Sementara itu, Rabu (24/12) di Jakarta, para aktivis pergerakan perempuan menolak putusan Mahkamah Konstitusi. Ditetapkannya penentuan caleg terpilih dengan suara terbanyak dinilai bertentangan dengan prinsip pemilu proporsional terbuka terbatas yang dianut.

Sikap itu disampaikan Gerakan Perempuan Pembela Demokrasi Pancasila. Kelompok yang beranggotakan sejumlah organisasi dan aktivis pergerakan perempuan itu menilai putusan Mahkamah Konstitusi membuat upaya perempuan memperjuangkan akomodasi perempuan lebih besar di lembaga legislatif yang dilakukan sejak penyusunan UU Pemilu putus di tengah jalan.

Menurut Yudha Irlang dari Gerakan Pemberdayaan Swara Perempuan, perempuan butuh upaya afirmatif di lembaga legislatif karena kondisinya saat ini memang tidak berimbang.

Namun, banyak pula kelompok masyarakat yang mendukung putusan Mahkamah Konstitusi. Direktur Eksekutif Centre for Electoral Reform Hadar N Gumay menilai putusan tersebut mengembalikan kedaulatan pemilih dalam pemilu.

Sementara itu, Ketua KPU A Hafiz Anshary mengatakan, yang dimaksud putusan Mahkamah Konstitusi tentang penetapan caleg terpilih dengan suara terbanyak adalah berdasarkan perolehan suara parpol. Artinya, penghitungan perolehan kursi dalam pemilu di setiap daerah pemilihan akan dilakukan terlebih dahulu, baru kemudian menentukan caleg terpilih dari masing-masing partai. (ANA/MZW)

Tidak ada komentar: