Jumat, 26 Desember 2008

Orientasi Kekuasaan Haram Dimiliki Seorang Pemimpin

ssssss

Proses regenerasi kepemimpinan politik tingkat nasional di Indonesia boleh jadi seolah sebuah peristiwa anomali besar. Kesan seperti itu setidaknya terasa mengemuka dalam diskusi peringatan hari ulang tahun ke-9 The Habibie Center, yang digelar akhir November ini di Jakarta.

Di satu sisi diyakini terjadi kemandekan besar-besaran dalam proses regenerasi di tingkat partai politik, yang salah satu faktor penyebabnya adalah masih banyak tokoh ”stok lama” ingin tetap maju bertarung dalam Pemilu 2009.

Kondisi seperti itu kemudian menyebabkan tidak sedikit tokoh muda berpotensi terpaksa harus memilih, antara hengkang mencari peluang di tempat lain atau bertahan dan ”duduk manis” sambil menunggu angin perubahan politik menjadi lebih menguntungkan buat mereka.

Meski begitu, jangan juga lantas terburu-buru menuduh tidak akan ada lagi yang namanya ”wajah baru” dalam peta persaingan politik di Indonesia menjelang Pemilu 2009. Wajah-wajah segar tetap muncul menghiasi ”etalase perpolitikan” di Indonesia.

Mereka muncul dengan berbagai macam iklan media massa dan media luar ruang. Cara ”memasarkan diri” macam itu memang terbilang inovatif walau belum jelas efektivitasnya.

Tidak cuma itu, ada juga yang mengaku insaf dan berhenti beriklan setelah hantaman krisis keuangan global mengganggu ”stabilitas” kocek mereka untuk beriklan.

Terlepas dari semua itu, Direktur Eksekutif The Habibie Center Ahmad Watik Pratiknya dalam pidato pembuka acara diskusi itu mengatakan, Indonesia sekarang tengah menderita suatu ”penyakit kronis” baru.

Penyakit ini dia sebut sebagai sindrom kepemimpinan semu (pura-pura) atau istilah kerennya, quasi leadership syndrome. Gejalanya tampak jelas pada kelakuan (attitude) para pemimpin yang lebih terlihat sebagai seorang politisi ketimbang pemimpin (leader).

Selain itu, tindak tanduk pemimpin yang menderita sindrom tersebut juga tampak lebih menggemari hal-hal yang bersifat transaksional daripada transformatif.

”Akibatnya, tindakan dan keputusan yang diambil atau dihasilkan tidak lebih dari sebatas tindakan atau keputusan simbolis yang tidak fungsional. Hal itu terjadi karena mereka hanya berorientasi pada kekuasaan dengan risiko apa pun (at all cost),” ujar Ahmad.

Menurut Ahmad, orientasi terhadap kekuasaan sebetulnya sah-sah saja dimiliki seorang politisi, bukan pemimpin. Seorang politisi selalu menjadikan kekuasaan sebagai satu-satunya tujuan. Ibaratnya, tanpa kekuasaan, seorang politisi serasa berada di dalam neraka.

Orientasi terhadap kekuasaan macam itu, menurut Ahmad, ”haram” dimiliki seorang pemimpin. Idealnya, seorang pemimpin justru harus berani kehilangan kekuasaan demi memperjuangkan tujuan. Salah satu contoh sempurna tentang itu, tambahnya, dapat dilihat pada sosok Mahatma Ghandi maupun Moh Hatta.

Sayangnya, tambah Ahmad, semua kondisi yang tidak menguntungkan tadi juga masih harus diperparah lagi dengan adanya penyimpangan dalam hampir seluruh proses perekrutan di segala bidang di Indonesia.

Penyimpangan yang terjadi lantaran penekanan yang terlalu berlebihan terhadap kriteria ”diterima” (acceptable), yang dipaksakan harus dimiliki seorang calon pemimpin, ketimbang kriteria krusial lain seperti kapasitas, integritas, dan ketegasan.

Akibatnya tidak aneh jika belakangan bahkan para artis pun ikut-ikut mencoba peruntungan atau malah dengan cara direkrut oleh parpol-parpol yang ada. Alasan syarat suara terbanyak dalam pencalonan anggota legislatif disebut sebagai penyebab banyak artis bermunculan dalam dunia politik.

Banyak analisis dipaparkan kemudian dalam diskusi The Habibie Center, terutama terkait anomali yang terjadi dalam pola regenerasi kepemimpinan nasional. Menurut guru besar Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Sofian Effendi, yang terjadi di Indonesia sekarang juga terjadi di banyak negara berkembang yang belajar berdemokrasi.

Mengutip Thomas Carothers dalam artikelnya, ”The End of the Transition Paradigm” (2002), Sofian menilai Indonesia sebagai negara yang tengah melakukan proses demokratisasi juga menghadapi kemacetan konsolidasi demokrasi.

”Carothers menyebut kondisi itu dengan istilah sindrom zona kelabu demokrasi (syndrome of democracy grey zone),” ujarnya.

Sofian yakin, sindrom tersebut di Indonesia akibat ulah kekuasaan otoriter Orde Baru, yang lebih dari tiga dasawarsa membungkam secara sistematis rakyatnya sendiri, mulai dari kampus-kampus dan organisasi kemahasiswaan sampai pemberangusan media massa.

”Sampai Pemilu 2009, sepertinya belum akan tampak tanda-tanda bakal terjadi perubahan signifikan pada sindrom zona kelabu demokrasi itu,” ujar Sofian. (WISNU DEWABRATA)


Tidak ada komentar: